Seorang senior di kampus pernah berkata, “Yar, tahu nggak apa itu bersyukur? Bersyukur berarti mendayagunakan potensi yang kita miliki untuk kebermanfaatan.” Pesan tersebut sangat membekas bagi saya. Dulu, saya berpikir wujud syukur hanyalah sebatas berterima kasih kepada Tuhan atas kebaikan hidup yang telah Ia berikan. Namun ternyata, syukur tidak hanya sebatas berterima kasih. Lebih jauh, bentuk syukur yang paling tinggi yaitu saat kita menyadari bahwa kita hidup tidak hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk orang lain.
Satu dari sekian banyak hal saya syukuri dalam hidup ini yaitu saya hampir tidak pernah dirawat di rumah sakit. Sejak kecil, saya tidak menyukai rumah sakit. Memori saya tentang rumah sakit buruk: lantai keramik yang dingin, aroma obat-obatan, dinding-dinding yang pucat pasi, dan aura kesedihan yang menyeruak melalui fentilasi kamar mayat.
Ketika kecil, saya pernah ke rumah sakit untuk beberapa urusan seperti membesuk keluarga yang sakit, mengantar mama melahirkan, dan menunggu anggota keluarga yang menjalani operasi. Saya berdoa pada Tuhan agar saya tidak perlu dirawat di rumah sakit. Jikapun saya sakit, saya meminta sakit yang ringan-ringan saja sehingga tidak perlu dirawat.
Kata mama, saya pernah dirawat di rumah sakit lantaran sakit tifus. Tapi usia saya waktu itu kira-kira dua atau tiga tahun. Sejujurnya, saya tidak memiliki ingatan tentang masa itu. Hingga sekarang, saya beruntung belum pernah dirawat di rumah sakit. Sebuah berkah yang patut saya syukuri. Sebuah berkah yang tidak pernah ingin saya tukar dengan siapapun. Saya benci dirawat bukan karena saya benci rumah sakit. Saya hanya benci merepotkan orang lain, termasuk keluarga sendiri.
Saya bertekad untuk hidup sehat. Jika tubuh saya sehat, maka saya dapat membantu orang lain. Jika dibandingkan orang yang benar-benar menerapkan pola hidup sehat, saya masih jauh. Namun, saya ingin memulai dari yang sederhana: berusaha mengontrol zat yang masuk ke dalam tubuh saya.
Di keluarga, saya satu-satunya pria yang tidak merokok. Saya heran mengapa banyak sekali orang-orang, terutama pria, yang senang merokok? Saya pernah mencobanya beberapa kali ketika di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kata teman saya, merokok itu menenangkan. Sayapun mengikuti sarannya. Saat masalah menimpa saya, saya coba mendistraksi pikiran saya dengan merokok. Hasilnya? Buruk. Alih-alih mendapatkan ketenangan, saya merasa bodoh karena telah menghisap tembakau yang rasanya pahit dan kecut. Saya tidak menemukan kenikmatan apapun dengan merokok.
Kesehatan adalah tanggung jawab masing-masing individu. Bukan tanggung jawab orang tua, teman, atau pasangan. Sebisa mungkin, saya berjanji pada tubuh saya bahwa saya tidak akan merusaknya. Semoga saja janji ini akan selalu saya pegang.
Kabar baik dari manfaat menerapkan pola hidup sehat, kita dapat berbagi harapan dengan orang lain. Seperti kata John Lennon, “What we’ve got to do is keep hope alive. Because without it we’ll sink”. Salah satu upaya yang baru bisa saya lakukan untuk menjaga harapan tetap hidup adalah mendonorkan darah yang saya miliki untuk mereka yang membutuhkan.
—
Banyak orang yang takut dengan donor darah, termasuk saya. Dulu, ketika di bangku Sekolah Dasar, saya paling takut jika guru mengumumkan bahwa akan dilakukan imunisasi untuk semua murid. Pikiran saya sudah kalut. Membayangkan lengan saya akan disuntik. “Ah, pasti rasanya sakit sekali,” saya membatin.
Akan tetapi, guru saya selalu mengingatkan bahwa sakit disuntik itu tidak ubahnya seperti digigit semut. Nyatanya? Tidak sama sekali. Jauh lebih sakit dibandingkan gigitan semut manapun pernah menggigit saya. Mungkin akan beda jika ada jenis semut lain yang menggigit persis seperti jarum suntik. Bisa jadi.
Ketika di kampus, untuk pertama kalinya saya putuskan donor darah. Saat itu, salah seorang teman saya dari Fakultas Kedokteran menjadi panitia donor darah. Kegiatan donor darah rutin dilaksanakan oleh fakultasnya. Teman saya yang pertama kali mengetes golongan darah saya kemudian mengantarkan saya kepada petugas Palang Merah Indonesia (PMI) untuk selanjutnya dilakukan pengambilan darah.
Apa yang saya rasakan untuk pertama kalinya donor darah? Lega dan bahagia. Lega karena ternyata donor darah tidak menakutkan seperti yang saya bayangkan. Memang terasa sakit saat jarum suntik berhasil menembus kulit dan mencapai pembuluh darah. Namun rasa sakitnya memang tidak seberapa. Saya pernah mengalami rasa sakit yang lebih parah dibandingkan disuntik. Serius.
Lega berikutnya karena ternyata saya bisa lolos donor darah. Banyak di antara pendonor yang takberhasil donor darah lantaran kadar hemoglobin darah yang kurang atau tekanan darah yang rendah. Kadar hemoglobin darah calon pendonor sekurang-kurangnya 12,5 gram/desiliter (g/dl) dan tekanan darah normal berkisar antara sistole 110-160 mmHG, diastole 70-100 mmHg.
Saya bahagia karena bisa membantu orang lain, khususnya mereka yang membutuhkan pertolongan secepatnya. Saya pernah mengobrol dengan petugas PMI yang mengatakan persediaan darah di PMI kerap kali terbatas. Menurut perhitungan WHO, kebutuhan darah 2% dari jumlah penduduk atau secara nasional 5,2 juta kantong darah yang dibutuhkan Indonesia setiap tahunnya. Secara data, kebutuhan itu baru terpenuhi sekitar 92% yang berasal dari PMI.
Ketika Ramadan apalagi seperti masa pandemi COVID-19, jumlah kantong darah yang tersedia di PMI kian terbatas. Padahal, permintaan darah selalu tinggi khususnya untuk pasien thalassemia (kelainan darah yang diakibatkan oleh faktor genetika) dan ibu melahirkan. “Biasanya, PMI datang ke kantor-kantor untuk mengambil darah. Namun di masa pandemi COVID-19, kantor-kantor tutup. Jadi, kami hanya mengandalkan pendonor yang sukarela datang ke PMI,” ujar seorang dokter yang bertugas di PMI Provinsi DKI Jakarta.
Bagi saya, donor darah adalah merayakan rasa syukur. Saya beruntung menjadi satu dari sekian banyak orang yang dapat mendonorkan darah. Saya tidak tahu apakah esok atau hari-hari berikutnya, saya masih dapat donor darah. Siapa yang tahu? Jadi, saya berjanji kepada diri saya sendiri, “Selama masih sehat, saya akan terus mendonorkan darah saya,” saya berkata lirih.
Masa muda, wajah yang rupawan, dan kesehatan adalah sesuatu yang fana. Kita tidak akan pernah tahu kapan Tuhan mencabut hadiah itu dari kita. Sewaktu-waktu, mereka dapat saja pergi meninggalkan kita. Tentu sedih rasanya saat mereka pergi, kita belum dapat berbuat apa-apa. Maka selagi bisa, lakukanlah.
Hal sekecil apapun yang kita lakukan, asal dilakukan dengan hati yang ikhlas, percayalah akan ada ganjaran yang diberikan Tuhan untuk kita. Mungkin tidak akan dibalas langsung dan tidak dibalas di dunia. Namun percayalah, Tuhan akan membalasnya dalam bentuk lain, dalam bentuk yang tidak kita sangka-sangka.
Saya pernah berbincang dengan seorang teman tentang keinginan saya mendonorkan organ tubuh ketika sudah meninggal. Nampaknya ini belum lazim di Indonesia. Informasi berkaitan dengan hal itu juga masih sangat minim. Mungkin, saya perlu bertanya ke rumah sakit tentang hal ini. Barangkali dari sekian banyak organ tubuh yang saya miliki, ada satu atau dua yang kondisinya sehat sehingga layak untuk didonorkan.
Saya berpikir bahwa kita hidup tidak lama di dunia ini. Apa yang menjadi milik kita bukan sepenuhnya milik kita. Ada orang-orang di sana yang juga membutuhkan. Mungkin ini yang disebut dengan berbagi harapan. Bahwa seseorang yang terbaring takberdaya di rumah sakit memiliki harapan lantaran ada orang-orang di luar sana yang bersedia berkorban untuknya. Mereka, bisa jadi bukan keluarga atau teman pasien, namun orang biasa yang hanya ingin berbagi harapan.
Jakarta,
19 Mei 2020