Apa yang Saya Dapatkan dengan Menjadi Relawan?

Oleh: Mahfud Achyar

sahabat nusantarun photo by. bagus ernanda
Sahabat NusantaRun Chapter 6 (Foto Oleh: JF Bagus Ernanda Putra)

Suatu hari yang biasa, seorang teman mengirim pesan, “Salut sama kamu masih sempat ikut kegiatan kerelawanan.” Saya tidak langsung membalas pesan teman tersebut. Saya memikirkan apa respon terbaik yang bisa saya berikan, kemudian saya menulis, “Entah mengapa saya jatuh hati dengan dunia kerelawanan. Semacam saya punya tujuan hidup yang lebih penting dibandingkan hanya bekerja selama delapan jam dari pagi hingga sore.” Teman saya mengapreasiasi respon yang saya sampaikan walau setelah itu saya berpikir ulang apakah memang itu jawaban yang paling tepat. Saya sangsi.

Tahun 2018, ada dua kegiatan kerelawanan yang sangat berkesan untuk saya yaitu NusantaRun Chapter 6 dan Mural Kebaikan. Masih lekat di benak saya, awal tahun 2018, sahabat saya Harry Anggie mengajak untuk bergabung menjadi Sahabat NusantaRun (sebutan untuk panitia inti atau komite NusantaRun). Tanpa pikir panjang, saya pun mengiyakan ajakan Harry. Betapa tidak, tahun sebelumnya saya juga pernah menjadi relawan NusantaRun chapter 5. Saat itu, saya bertugas menjadi relawan dokumentasi. Menjadi relawan dokumentasi bukan kali pertama buat saya. Namun mengabadikan kegiatan lari tentu menjadi pengalaman pertama dan seperti orang-orang bilang, “Pengalaman pertama tidak pernah mengecewakan dan selalu berkesan.”

Selama bertugas menjadi relawan dokumentasi, saya melihat ratusan pasang mata yang memancarkan pesan kebaikan yang saya intip dari lensa kamera mirrorless Olympus berwarna silver. Saya bukanlah seorang cenayang. Namun saya pikir banyak orang yang bisa menangkap sorot mata ketulusan, kebaikan, dan kehangatan kendati dari orang-orang yang tidak dikenal sekalipun. Sebab mata adalah jendela jiwa. Dari mata banyak cerita yang bisa tercipta. Saya bersyukur melihat itu semua, cerita kebaikan yang menjadi pengharapan untuk hari-hari di masa depan. Sejatinya, orang-orang baik di negeri ini masih ada dan akan terus ada. Namun keberadaan mereka tertutupi oleh dominasi orang-orang jahat yang perlahan  namun pasti menggrogoti bumi pertiwi.

Dari dunia kerelawanan saya belajar bahwa perbedaan bukanlah halangan untuk kita bekerja sama, berkolaborasi, dan bersinergi. Tidak ada yang menanyakan agama, tidak ada yang menanyakan status sosial, tidak ada yang menanyakan pandangan politik. Selama masih berkontribusi, sekecil apapun akan diapresiasasi. Perbedaan bukanlah yang hal yang paling penting namun upaya kita bersama-sama mewujudkan sebuah misi itu yang menjadi lebih penting.

Setiap orang yang terlibat di NusantaRun memiliki tujuan yang sama, dunia pendidikan di Indonesia yang kian gemilang. Berharap tidak ada lagi anak-anak Indonesia yang putus sekolah, fasilitas merata dari ujung barat hingga Timur Indonesia, dan semua orang memiliki kesempatan yang sama dalam hal akses pendidikan. Tidak besar upaya yang sudah dilakukan. Namun saya selalu percaya kebaikan itu menular. Semoga gerakan-gerakan kebaikan terus menggeliat hingga ke pelosok-pelosok tanah air. Semoga api semangat kebaikan terus menggolara di setiap hati manusia Indonesia.

Selain menjadi relawan NusantaRun, tahun 2018 menjadi sangat spesial lantaran untuk pertama kalinya saya menjadi seorang fundraiser. Selain para pelari, panitia inti juga diharapkan untuk menggalang donasi untuk mewujudkan misi #PendidikanUntukSemua melalui laman platform KitaBisa. Memang tidak diwajibkan. Saya sempat ragu apakah turut jadi fundraiser atau tidak. Cukup lama bagi saya memutuskan untuk menjadi seorang fundraiser. Saya khawatir bagaimana nanti jika saya tidak mencapai target? Bagaimana nanti jika tidak ada yang mau berdonasi melalui laman saya? Suatu hari, akhirnya saya memutuskan untuk menjadi seorang fundraiser NusantaRun chapter 6.

“Jika bisa berbisik, mengapa harus berteriak?” Ini pesan yang disampaikan oleh Pak Iwan Esjepe ketika diskusi tentang dunia copywriting. Kata beliau, untuk menyentuh hati orang lain, tidak perlu menggunakan bahasa logika. Gunakanlah bahasa hati. Perlahan, saya mulai menulis wording di laman KitaBisa. Saya ingin setiap orang yang membaca frasa dan klausa di laman saya bisa tersentuh hatinya. Saya ingin memastikan bahwa pesan yang saya tulis mampu melewati retina mata hingga akhirnya mengetuk salah satu pintu hati mereka yang membaca. Selesai menulis wording dan menambahkan foto, saya bagikan tautan laman saya ke beberapa orang yang ada di daftar kontak ponsel saya.

kitabisa - mahfud achyar (1)
Kitabisa.com/achyarnr6

Beberapa di antara mereka adalah orang-orang yang intens berkomunikasi dengan saya, teman-teman yang sudah lama tidak dihubungi, dosen-dosen, serta kenalan-kenalan yang nomor mereka sempat saya simpan. Hasilnya, beberapa ada yang langsung merespon dan langsung donasi. Beberapa lagi pesan terkirim namun tidak dibalas. Beberapa lagi mungkin pesannya tidak terkirim lantaran ada yang ganti nomor ponsel. Tapi tidak masalah yang penting saya sudah mencoba mengajak mereka. Sayapun tidak ingin memaksa terlalu berlebihan. Mungkin hanya sedikit meneror untuk beberapa sahabat saya, “Sudah donasi belum?”

Sebetulnya, tidak sulit menjadi seorang fundraiser yang dibutuhkan hanya sedikit keberanian. Lagipula tujuan campaign ini sangat baik membantu pendidikan anak-anak disabilitas di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang bekerja sama dengan Kampus Guru Cikal. Saya begitu optimis akan mudah mengajak orang lain untuk donasi. Hasilnya, target donasi untuk NusantaRun chapter 6 yaitu sebesar Rp. 2,5 miliar tercapai sudah. Total donasi saat ini per tanggal 3 Januari 2018 yaitu sebesar Rp. 2.543.425926. Donasi masih dibuka hingga 13 Januari 2019 (tautan donasi: kitabisa.com/nusantarun).

Sementara target saya pribadi yaitu sebesar Rp. 5.000.000 dan sudah terkumpul Rp. 5.228.920. Saya tersentuh sudah bisa menggerakkan 32 orang dan laman saya sudah dibagikan sebanyak 52 kali di Facebook. Beberapa yang donasi menggunakan nama asli sehingga memudahkan saya untuk mengucapkan terima kasih secara langsung. Namun banyak juga yang menggunakan nama anonim. Saya sangat menghargai keputusan mereka. Terima kasih untuk mereka yang lembut hatinya.

Cerita lain di dunia kerelawanan tahun ini yaitu menjadi relawan Mural Kebaikan. Gerakan ini digagas oleh Chiki Fawzi. Ide muncul ketika peristiwa bom Surabaya pada 13 Mei 2018. Peristiwa itu menciderai toleransi antarumat beragama yang sudah susah payah dibangun bertahun-tahun lamanya. Saat itu, Chiki merasa tergerak. Ia harus melakukan sesuatu untuk merawat toleransi di Indonesia.

Akhirnya, Chiki menghubungi Kak Maria dan mengutarakan niatnya untuk memberikan mural gratis di Sekolah Minggu tempat Kak Maria mengajar. Chiki mengajak beberapa teman termasuk saya. Kamipun memural di Sekolah Minggu di Gereja Kristen Indonesia, Pulomas, Jakarta Timur. Video Mural Kebaikan bisa ditonton pada tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=9OkCc3SSlJQ

Pada 11 Juni 2018, tepat ketika hari-hari terakhir bulan Ramadan, saya menulis keterangan foto dengan tulisan seperti ini:

mural kebaikan by chiki fawzi
Chiki and Her Friends

Ini adalah sebuah cerita yang ingin saya bagikan kepada dunia. Tentang persahabatan berbeda keyakinan yang dibalut rasa saling mengasihi dan saling menghormati.

Cerita bermula ketika  Chiki ingin merawat toleransi di bumi yang kita cintai ini, bumi Indonesia. Ia ingin berbagi dengan sesama melalui potensi yang ia miliki, salah satunya melalui mural. Niat baik Chiki disambut baik oleh Kak Maria. Ia menawarkan Chiki untuk memural Sekolah Minggu di Gereja Kristen Indonesia Pulomas. Kebetulan Kak Maria, begitu ia akrab disapa, menjadi salah satu pengajar di Sekolah Minggu tersebut. Saya beruntung menjadi salah satu yang diajak Chiki untuk melakukan project yang menyenangkan ini.

Bagi saya pribadi, ini pengalaman pertama. Saya begitu semangat untuk menjalankannya. Di GKI Pulomas, kami disambut baik oleh jemaat GKI Pulomas. Kami bahu membahu mengerjakan mural dengan perasaan suka cita. Takjarang gelak tawa menggelegar memenuhi setiap ruang di Sekolah Minggu. Rasanya, kami sangat dekat dan bisa bersahabat dengan begitu cepat.

Menjelang buka puasa, teman-teman GKI Pulomas menyediakan buka puasa. Kami beristirahat sejenak sembari menyantap hidangan penuh selera. Kehangatan terasa begitu nyata dan itu sulit kami dustai. Ah, mungkin ini momen yang nantinya saya rindukan. Saya bersyukur hidup di tengah perbedaan yang membuat saya belajar untuk membuka diri dan menghargai perbedaan. Hati saya merasa teduh. Ramadan Kareem. Semoga kehangatan ini menjadi pengingat ketika kelak (mungkin) kita akan mengalami masa-masa sulit. Semoga Indonesia terus rukun dalam bingkai perbedaan. Semoga.

Lantas, balik lagi ke pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini, apa yang saya dapatkan menjadi relawan? Jika hanya butuh satu kata, maka kata yang paling tepat yang mewakili perasaan saya yaitu kata ‘kebahagiaan’. Saya merasa bahagia sudah melakukan sesuatu bukan untuk saya melainkan untuk orang lain, untuk sesuatu yang lebih besar.

Saya merasa bersyukur masih diberi kesempatan untuk berbuat baik oleh Tuhan. Mungkin peran yang saya ambil tidak besar, tidak terlalu berisiko, dan tidak terlalu menghasilkan perubahan yang besar. Namun semoga kontribusi kecil yang sudah saya berikan bernilai setidaknya menjadi kenangan baik untuk diri saya sendiri. “Jangan lelah berbuat baik karena kebaikan akan kekal sementara lelah akan hilang,” tulis Chiki di akun Youtube-nya.

Photo Story: Kerja Bersama!

1. Foto Pembuka
Lomba panjat pinang merupakan salah satu lomba untuk menyemarakkan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia setiap tahunnya. (Foto Oleh: Mahfud Achyar)

Oleh: Mahfud Achyar

Indonesia Kerja Bersama.

Demikian tema yang diperkenalkan pemerintah kepada seluruh masyarakat Indonesia pada momentum peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke-72 tahun. Melalui tema tersebut, saya berpendapat bahwa pemerintah ingin mengajak semua elemen bangsa untuk turut mengisi kemerdekaan Indonesia dengan kerja-kerja yang nyata.

Hari Kemerdekaan selalu menjadi momen yang spesial bagi bangsa Indonesia. Betapa tidak, kemerdekaan menjadi hal yang paling ditunggu-tunggu setelah ratusan lamanya sejak Indonesia mengalami masa kependudukan: penjajahan. Untuk itu, tidak ada hal yang paling menggembirakan selain bersuka cita karena kemerdekaan sudah sepenuhnya diraih dan sekarang saatnya membuat bangsa Indonesia menjadi jauh lebih hebat.

Merayakan Dirgahayu Republik Indonesia, biasanya digelar berbagai perlombaan seperti lomba tarik tambang, lomba balap karung, lomba makan kerupuk, lomba panjat pinang, dan berbagai perlombaan lainnya. Lomba-lomba tersebut dilaksanakan di seluruh penjuru negeri, mulai dari wilayah pedesaan hingga perkotaan. Secara umum, tujuan perlombaan-perlombaan tersebut yaitu untuk menggelorakan kembali sifat gotong royong yang menjadi nilai dari bangsa Indonesia.

Suatu ketika, Bung Karno, pernah menyampaikan pidato di depan BPUPK pada tanggal 1 Juni 1945. Bung Karno berkata, “Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “gotong-royong” Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong: alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong.”

Wujud semangat gotong royong salah satunya dapat tercermin pada perlombaan panjat pinang. Saya mengabadikan momen demi momen lomba panjat pinang pada Jumat, (18/8/2017) di Kalibata, Jakarta Selatan. Rangkaian momen-momen tersebut tertuang dalam photo story yang berjudul “Kerja Bersama!”


2. Detil
Tanpa alas kaki, para peserta lomba panjat pinang tidak hanya adu fisik, namun juga ada strategi dan kekompakan. (Foto Oleh: Mahfud Achyar)

Sejarah Lomba Panjat Pinang

Menurut budayawan Wijanarto, seperti yang dilansir pada laman Liputan6.com (14/8/2017) perlombaan panjat pinang sudah ada sejak masa pendudukan Belanda. Katanya, lomba panjat pinang digelar sebagai hiburan saat perayaan penting orang Belanda di Nusantara seperti pesta pernikahan dan ulang tahun.

Sumber lain juga menyebutkan bahwa di Belanda, lomba panjat pinang disebut De Klimmast yang berarti panjat tiang. Lomba panjat pinang digelar setiap tanggal 31 Agustus yang bertepat dengan hari ulang tahun Ratu Wihelmina. Orang-orang pribumi berlomba mendapatkan hadiah yang digantungkan di puncak pohon pinang.

Setiap tahun, saat peringatan Dirgahayu Republik Indonesia, terjadi perdebatan di antara masyarakat, apakah lomba panjat pinang masih perlu dilestarikan atau tidak? Sebagian beranggapan bahwa lomba panjat pinang takusah dilakukan lagi lantaran pada masa silam lomba tersebut dianggap merendahkan harkat martabat bangsa Indonesia. Namun sebagian lain beranggapan sebaliknya. Lomba panjat pinang dirasa dapat merekatkan kekompakan dan membangun semangat gotong royong antarmasyarakat.

DSC_0051
Nyatanya untuk mencapai puncak pohon pinang tidaklah mudah, seringkali para peserta lomba jatuh berkali-kali hingga pada akhirnya bangkit untuk menggenapkan misi: menang. (Foto Oleh: Mahfud Achyar)
3. Portrait
Batang pohon pinang yang dilumuri oli membuat peserta merasa kewalahan. (Foto Oleh: Mahfud Achyar)
DSC_0437
Hampir dua jam lamanya, takada satupun tim yang berhasil mencapai puncak untuk menggapai hadiah-hadiah terbaik yang disiapkan panitia. Namun sore hari, akhirnya ada yang berhasil mencapai puncak. Takberlebihan jika ia layak disebut sebagai pemenang. (Foto Oleh: Mahfud Achyar)

 

4. Foto Penutup
Wajah-wajah yang bersuka cita setelah melewati masa-masa yang sulit.

Kendati terjadi pro dan kontra mengenai perlombaan panjat pinang, namun tidak dapat dipungkiri bahwa perlombaan tersebut sangat baik membangun kerja sama tim dan menumbuhkan semangat gotong royong.

Barangkali hadiah yang ditawarkan di atas puncak pohon pinang memang tidak begitu menggiurkan. Namun, nyatanya bukan ‘harga’ yang membuat perlombaan ini terus ada hingga sekarang. Kebersamaan, kerja keras, dan pengorbanan menjadi nilai-nilai yang harus terus ada dan harus tetap dipertahankan agar bangsa Indonesia terus menjadi bangsa yang berdaulat.

Indonesia merdeka!

Photo Story: Membangun Mimpi Anak Indonesia

Oleh: Mahfud Achyar

Ada yang berbeda dengan pagi ini. Tidak seperti pagi-pagi biasanya, pagi ini saya berada di Bandung. Sebuah kota yang menyimpan begitu banyak cerita yang indah untuk dikenang.

Sebelum subuh, saya sudah bangun untuk mandi. Padahal saya baru tidur sekitar pukul 2 dini hari. Namun apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain untuk menyegerakan diri bersiap-siap menyambut hari yang penuh arti.

Rabu, (22/2/2017), saya dan 20 relawan Kelas Inspirasi Bandung 5 mengunjungi siswa-siswi SD Komara Budi dan Pasir Kaliki Bandung. Bagi saya pribadi, ini kali pertama saya menjadi relawan Kelas Inspirasi Bandung. Sebelumnya, saya hanya ambil bagian menjadi relawan Kelas Inspirasi Jakarta dan Kelas Inspirasi Depok. Saya sungguh bersemangat sebab akan bertemu dengan orang-orang baik yang tergabung dalam Kelompok 9 serta tentunya akan bertemu dengan adik-adik yang menyenangkan.

P2221202
Gambar 1. Dua orang siswa SD Komara Budi dan Pasir Kaliki tengah bersantai pada pagi hari menjelang seremoni pembukaan Kelas Inspirasi Bandung 5.

 

P2221242
Gambar 2. Suasana salah satu kelas di SD Komara Budi dan Pasir Kaliki. Terlihat prakarya siswa-siswi dipajang menjadi hiasan di atas lemari buku.

21 relawan yang bertugas di SD Komara Budi dan Pasiri Kaliki terdiri dari 13 relawan pengajar, 5 relawan fotografer, 2 relawan videografer, serta 1 relawan fasilitator. Hal yang menarik sebagian besar relawan berasal dari luar Bandung seperti Semarang, Jakarta, Tangerang, dan Tegal.

Ragam profesi juga membuat kelompok 9 menjadi sangat berwarna. Ada yang menjabat sebagai direktur di sebuah perusahaan, ada yang menjadi psikolog anak, ada yang menjadi rescuer, dan sebagainya. Satu tujuan kami datang ke Bandung khususnya ke SD Komara Budi dan Pasiri Kaliki yaitu membangun mimpi anak Indonesia!

P2220901
Gambar 3. Seorang siswi berlari melewati lukisan bendera dari delapan negara di salah satu tembok sekolah.

Bagaimana cara membangun mimpi anak Indonesia?

Rasanya pertanyaan itu sangat sulit dijawab oleh kami yang memang bukan praktisi pendidikan. Kami adalah kumpulan para profesional yang mungkin menguasai bidang kami, namun belum tentu dapat mengajar dengan baik. Sebagian dari kami belum memiliki pengalaman mengajar sama sekali. Namun ada juga yang sudah beberapa kali mengikuti program Kelas Inspirasi.

Kendatipun pernah mengajar, kami tetap saja merasa gugup. Maka karena itu, kamipun harus mempersiapkan diri dengan baik. Jauh-jauh hari, kami sudah mempersiapkan materi ajar untuk memberikan yang terbaik yang kami punya untuk siswa-siswi di SD Komara Budi dan Pasir Kaliki.

Lantas apa yang kami ajarkan kepada mereka? Apakah matapelajaran matematika yang kerapkali dianggap momok menakutkan oleh banyak siswa-siswi? Tidak! Tidak sama sekali! Kami mengajar tentang diri kami, profesi kami, dan proses kami hingga menjadi seperti sekarang. Untuk apa? Apakah untuk pamer atau ‘gaya-gayaan’? Tidak. Sungguh tidak sama sekali. Kami menyadari dengan sepenuhnya bahwa kami bukanlah yang terbaik. Kami barangkali tidak layak menjadi contoh atau role model.

Walau kami tidak sempurna, kami memiliki hasrat yang besar untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Salah satu upaya yang bisa kami lakukan yaitu berbagi dengan mereka. Kami datang untuk berbagi mimpi. Sesederhana itu.

P2221074
Gambar 4. Herawati merupakan seorang direktur di sebuah perusahaan di Bandung. Di kelas, ia berpesan kepada siswa-siswi, “Kita bisa menjadi apapun yang kita mau.”

 

Kami yakin, niat yang baik tentu akan mendapat impresi yang baik pula. Begitulah yang kami rasakan ketika setengah hari berada di SD Komara Budi dan Pasir Kaliki. Kami merasa senang disambut dengan sangat baik oleh kepala sekolah dan jajaran guru. Lebih penting dari itu semua, kami menyaksikan betapa siswa-siswi SD Komara Budi dan Pasir Kaliki memiliki semangat belajar yang sangat baik. Mereka antusias bertanya, mereka bersemangat untuk menjadi orang hebat di masa depan. Tidak ada hal yang membahagiakan bagi kami selain melihat pelita harapan masih nyala di hati mereka.

P2221120
Gambar 5. Berlari menggapai cita-cita.

Teruslah berjuang menggapai cita-cita, wahai generasi harapan bangsa. Doa kami akan terus ada untuk kalian.

Terakhir, kami mengutip pesan Bung Hatta, “Jatuh bangunnya negara ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar persatuan dan kepedulian, Indonesia hanyalah sekadar nama dan gambar seuntaian pulau di peta. Jangan mengharapkan bangsa lain respek terhadap bangsa ini, bila kita sendiri gemar memperdaya sesama saudara sebangsa, merusak dan mencuri kekayaan Ibu Pertiwi.”

 

Pameran Kelas Inspirasi Jakarta 2016: “Berani Bermimpi, Berani Menginspirasi”

 

Processed with VSCO with a6 preset
Chiki Fawzi dan Band pada pembukaan pameran foto dan video Kelas Inspirasi Jakarta, Kamis, (10/11/2016) di Qubicle Center, Senopati 79, Jakarta Selatan. 

JAKARTA, INDONESIA – Tahun ini, Pameran Foto dan Video Kelas Inspirasi Jakarta yang ke-2 kembali digelar dengan mengusung tema “Berani Bermimpi, Berani Menginspirasi”. Jika pada tahun sebelumnya para pengunjung pameran hanya sebatas menikmati karya fotografi dari relawan Kelas Inspirasi Jakarta, maka pada tahun ini panitia akan menyuguhkan sesuatu yang baru dan berbeda. Pengunjung tidak hanya sekadar melihat karya fotografi melainkan juga dapat berinteraksi secara langsung dengan para fotografer. Hal tersebut memungkinkan terjadi karena pameran yang dikurasi oleh Yoppy Pieter ini memilih konsep photo story.

Barangkali tidak banyak masyarakat umum yang mengetahui terminologi photo story. Secara sederhana, photo story merupakan serangkaian foto yang dilengkapi dengan narasi dan caption (80% foto, 10% narasi, dan 10% caption). Konsep photo story dipilih lantaran panitia ingin mengajak para pengunjung (khususnya yang belum pernah terlibat menjadi relawan Kelas Inspirasi) untuk turut hadir pada momen-momen berharga, inspiratif, dan berkesan selama penyelenggaran Kelas Inspirasi Jakarta ke-5 pada (2/05/2016) lalu.

Setidaknya, ada 880 relawan pengajar, 220 tim dokumentator (fotografer dan videografer), serta 89 fasilitator yang terlibat aktif guna menyukseskan Hari Inspirasi yang bertepatan dengan momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Para relawan Kelas Inspirasi disebar ke berbagai Sekolah Dasar (SD) dengan kategori sekolah marjinal dan satu Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB) di Jakarta.

Relawan Kelas Inspirasi, merupakan para profesional dalam bidangnya masing-masing yang bercerita kepada para siswa-siswi Sekolah Dasar mengenai profesi mereka. Tidak hanya sekadar bercerita, mereka juga memberikan semangat, motivasi, dan asa agar generasi harapan bangsa berani menggapai cita-cita mereka. “Barangkali, bagi para relawan mereka hanya diminta untuk cuti satu hari bekerja. Namun sesungguhnya kehadiran mereka di tengah para siswa-siswi pada Hari Inspirasi sangatlah bermakna. Berbagi cerita, berbagi pengetahuan, serta berbagai pengalaman kepada siswa-siswi SD agar kelak mereka menjadi orang-orang yang hebat,” ujar Harry Anggie S. Tampubolon, Ketua Pameran Foto dan Video Kelas Inspirasi Jakarta 2016.

Sebagai informasi, Kelas Inspirasi (www.kelasinspirasi.org) merupakan program turunan dari Indonesia Mengajar (www.indonesiamengajar.org) yang memfasilitasi para profesional untuk berkontribusi secara nyata memajukan pendidikan di Indonesia. Kelas Inspirasi pertama kali diselenggarakan pada (25/04/2012) secara serentak di 25 Sekolah Dasar di Jakarta dan akan terus berjalan pada tahun-tahun berikutnya.

Kelas Inspirasi sudah dilaksanakan lebih dari 100 kali di berbagai kota dan kabupaten di Indonesia. Gerakan ini terus berjalan dari tahun ke tahun. Kabar menggembirkan ternyata program sejenis Kelas Inspirasi telah banyak diselenggarakan di berbagai daerah dengan nama-nama yang berbeda. Kendati demikian, kami berkeyakinan bahwa semua gerakan yang ada memiliki tujuan yang sama yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pameran Foto dan Video Kelas Inspirasi Jakarta ke-2 akan dilaksanakan bertepatan dengan Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November hingga 19 November 2016 di Senopati 79 a Qubicle Center, Jalan Senopati No. 79, Selong, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Menurut Harry, Qubicle Center dipilih sebagai lokasi pameran tahun ini lantaran Qubicle Center merupakan salah satu tempat pusat kreativitas di Jakarta. Sebagai platform yang berdiri berdasarkan kerja sama dengan para komunitas seluruh Indonesia, Qubicle mendukung para konten kreator dan komunitas dengan adanya fasilitas di Qubicle Center. Oleh sebab itu, pihak Qubicle berbaik hati menyediakan fasilitas Qubicle Center guna mendukung terwujudnya Pameran Foto dan Video Kelas Inspirasi Jakarta 2016. “Selain sebagai pusat kreativitas, Qubicle Center dipilih karena lokasinya berada di kawasan ramai seperti SCBD (Sudirman Centran Bussiness District) serta mudah dijangkau dengan menggunakan moda transportasi umum,” jelas Harry.

Selain Qubicle, Pameran Kelas Inspirasi Jakarta 2016 juga didukung oleh PGN, SKK Migas, Conoco Phillips, Dapur Icut, Printerous serta Seagate. Dukungan dari berbagai pihak dalam mewujudkan pameran tahun ini merupakan suatu kehormatan bagi kami untuk terus menebar kebaikan, khususnya dalam bidang pendidikan.

Secara spesifik, tujuan dilaksanakan Pameran Kelas Foto dan Video Inspirasi Jakarta 2016 yaitu untuk menyosialisasikan kegiatan positif yang digawangi oleh lebih dari 2000 relawan Kelas Inspirasi selama 5 tahun ke belakang. Selain itu, pameran tersebut juga sebagai bentuk apresiasi kepada seluruh relawan, siswa-siswi, guru, dan sekolah yang telah merasakan manfaat Kelas Inspirasi.

Selain pameran, kegiatan lain yang dapat diikuti oleh para pengunjung yaitu talkshow/workshop fotografi dan sharing session Kelas Inspirasi Jakarta. Tidak hanya itu, pengunjung juga akan dihibur dengan penampilan musik dari musisi tanah air. Pembukaan pameran pada Kamis, (10/11/2016) pukul 19.00 WIB hingga 21.00 WIB akan dimeriahkan dengan penampilan musik yang dibawakan oleh Celtic Room, Chiki Fawzi, dan Archie Wirija. Sementara untuk penutupan pada Sabtu, (19/11/2016) pukul 11.00 WIB hingga 21.00 WIB akan dimeriahkan dengan penampilan musik yang dibawakan oleh Syahravi, Westjamnation, Huhu Popo, Resha and Friends, Nia Aladin, serta Juma & The Blehers.

Sementara itu, adapun 17 pameris yang terlibat pada pameran ini terdiri dari 13  fotografer yaitu Aad M. Fajri, Agil Frasetyo, Bagas Ardhianto, Bhima Pasanova, Darwin Sxander, Deasy Walda, Desi Bastias, Desita Ulfa, Dimitria Intan, M. Khansa Dwiputra, Ruben Hardjanto, Shofiyah Kartika dan Silvya; 3 videografer yaitu Fahiradynia Indri, Agus Hermawan, dan Yuni Amalia; serta 1 mural artis yaitu Popo Mangun. Sebagian besar dari mereka bukanlah fotografer dan videografer profesional. Ada yang masih berstatus mahasiswa, ada yang bekerja sebagai konsultan, dan lain sebagainya. Pun demikian, karya-karya mereka yang nanti akan dipamerkan patut untuk mendapatkan diacungi jempol. Informasi lebih detil mengenai profil singkat para fotografer dan videografer dapat dilihat pada situs berikut: http://pameranki.kelasinspirasijakarta.org/.

“Kami berharap melalui Pameran Foto dan Video Kelas Inspirasi Jakarta 2016, semakin banyak orang-orang baik di negeri ini yang peduli dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Kami berkeyakinan bahwa para generasi bangsa yang saat ini duduk di bangka Sekolah Dasar kelak akan menjadi generasi yang gemilang. Oleh sebab itu, kita semua tanpa terkecuali berkewajiban untuk memastikan agar para penerus bangsa mendapatkan akses pendidikan yang baik, merata, dan berkeadilan sosial,” tutup Harry.

 

Kerja Sembari Kuliah, Mungkinkah?

Catatan Mahasiswa Pascasarjana (Bagian 1)

Oleh: Mahfud Achyar

429096_3152865350840_1549738364_n
Alumni Universitas Padjadjaran, Bandung (2007-2011)
Setelah wisuda sarjana pada November 2011, ada dua hal yang betul-betul saya inginkan: bekerja atau lanjut kuliah?  Kedua pilihan tersebut sebetulnya sangat menggiurkan. Kala itu, saya ingin sekali lanjut kuliah. Saya pikir, menjadi dosen tentu akan sangat menyenangkan. Saya pun mencari informasi beasiswa S2 khususnya beasiswa Dikti yang memang diperuntukkan bagi calon dosen/tenaga akademik. Beberapa teman saya juga melakukan hal yang sama. Wajar, sejak kuliah memang beasiswa tersebut yang kami incar. Kami ingin sekali menjadi dosen di kampus kami. Berada di antara para pemburu beasiswa membuat saya begitu bersemangat dan tidak sabar untuk segera kuliah kembali! Saya pun telah mantap memilih Universitas Indonesia sebagai kampus pilihan untuk menimba ilmu, khususnya di bidang ilmu lingustik.

Akan tetapi, rencana tersebut berubah ketika saya pindah dari Bandung ke Jakarta. Entahlah, kadang saya sendiri merasa tidak yakin apakah rencana tersebut memang betul saya inginkan atau mungkin saya hanya ikut-ikutan. Integritas saya mulai dipertanyakan. Sejujurnya, dari hati kecil saya, hal utama yang saya dambakan yaitu mandiri secara finansial. Mungkin alasan tersebut terkesan klise. Namun begitulah apa adanya. Sejak kuliah, saya sudah terlalu banyak merepotkan kedua orang tua saya. Rasanya wajar bila pada usia yang ke-21 tahun, saya tidak ingin lagi menjadi anak yang menyusahkan. Seharusnya sayalah yang memberikan kontribusi untuk keluarga saya. Secara tegas, saya putuskan bahwa saya harus bekerja! Titik. Untuk urusan kuliah, saya rasa pasti suatu saat akan menemukan jalan yang tidak akan saya sangka-sangka. Tuhan bukankah artisitek yang Maha Hebat?

Lagipula, alasan saya bekerja tidak hanya sebatas untuk mendapatkan lembaran rupiah. Lebih jauh dari itu, saya butuh pekerjaan untuk mengaktualisasikan kemampuan yang saya miliki. Saya ingin menjadi praktisi komunikasi. Sebuah profesi yang sejak SMA sangat saya idam-idamkan. Rasanya akan sangat menarik bertemu dengan banyak orang, mengatur pesan, serta merancang program-program yang kreatif. Kadang, saya tidak bisa tidur hanya karena membayangkan diri saja bekerja dan menjadi bagian dari sebuah tim yang hebat.

Awal tahun 2012, saya mulai mengetuk pintu beberapa perusahaan ternama di Jakarta dengan harapan mereka tertarik dengan riwayat hidup saya kemudian menerima saya sebagai bagian dari perusahaan mereka. Namun nyatanya apa yang saya anggap sederhana (melamar-wawancara-diterima) jauh lebih pelik dan kompleks. Saya ingat betul, waktu itu hampir semua kesempatan kerja saya coba. Mulai dari walk in interview hingga datang ke pameran bursa kerja. Semuanya saya lakoni dengan sebaik mungkin. Bahkan, saya memiliki beberapa akun di situs penjaring kerja dengan perhitungan bahwa peluang untuk mendapatkan pekerjaan akan lebih besar. Berhasil? Belum!

Setiap hari, aktivitas utama yang saya lakukan yaitu mengecek surat elektronik untuk membaca pesan dari perusahaan-perusahaan yang saya lamar. Terkadang saya beruntung mendapatkan telefon dari perusahaan yang tertarik dengan riwayat hidup saya. Namun seringnya saya justru tidak lolos tahap akhir. Kecewa? Sudah sangat pasti. Boleh dikatakan, awal-awal tahun 2012 merupakan masa-masa tersulit dalam hidup saya. Acapkali saya merasa menjadi sangat emosional dan sentimentil. Saya sulit sekali membedakan maksud pesan dari orang-orang di sekitar saya yang acap bertanya, “Apakah saya sudah bekerja”” Perhatian dan prihatin seakan tidak ada bedanya. Sama-sama menyakitkan. Namun apabila dipikirkan lagi sekarang, seharusnya saya tidak perlu mengambil sikap seperti itu. Namun bagaimanapun, saya tidak bisa mengelak bahwa memang pada saat itu hati saya sungguh kacau dan otak saya tidak dapat berpikir secara jernih. Benar-benar tidak karuan! Mudah-mudahan bisa menjadi pengingat untuk saya hingga kapanpun.

Mei 2012. Alhamdulillah, akhirnya saya mendapatkan pekerjaan di salah satu NGO di Jakarta. Sebelum menerima tawaran tersebut, sebetulnya saya juga sudah diterima di salah satu perusahaan media terkenal di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Namun saya tolak tawaran tersebut lantaran ada satu alasan yang sangat personal.

Jika boleh bercerita, ketika masa-masa sulit tadi, saya merasa sangat jauh dengan Tuhan. Barangkali harusnya saya bisa lebih dekat dengan Tuhan, berkeluh kesah pada-Nya. Tapi yang terjadi justru saya merasa menjaga jarak dengan-Nya. Suatu kesempatan, saya berdoa kepada Tuhan agar saya mendapatkan pekerjaan yang membuat saya bisa dekat dengan-Nya. Secara sederhana, saya ingin nanti ketika saya bekerja minimal saya bisa menjalankan ibadah sholat lima waktu tanpa halangan berarti. Ya, demikianlah pinta saya pada-Nya. Setelah berpikir cukup lama dan berusaha melibatkan Tuhan dalam setiap keputusan saya. Well, akhirnya saya memilih bekerja di NGO sebagai aktivis kemanusiaan.

Satu tahun lebih bekerja di NGO, banyak kesempatan emas yang mulai berdatangan. Salah satu kesempatan hebat yang tidak akan mungkin saya tepis yaitu kesempatan mendapatkan beasiswa program magister. Ada dua beasiswa yang saya incar, yaitu beasiswa Kemenpora dan beasiswa Medco Foundation-Universitas Paramadina. Kedua jenis beasiswa tersebut memang secara spesial diberikan kepada penggiat organisasi kepemudaan dan aktivis NGO.

Saya tahu mengenai beasiswa Kemenpora sejak kuliah di Unpad. Kebetulan, salah seorang senior saya di BEM pada saat itu menjadi penerima beasiswa tersebut. Saya mendapatkan informasi banyak dari beliau. Untuk informasi lebih detil, Anda bisa bisa baca dengan seksama pada tautan berikut: http://bit.ly/2bWVBOo. Persyaratan untuk mendapatkan beasiswa tersebut sebetulnya tidak begitu rumit. Kita hanya perlu menyediakan dokumen-dokumen yang diminta serta mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi untuk program pascasarjana di Universitas Indonesia atau Universitas Gadjah Mada.

Pada saat yang bersamaan, Universitas Paramadina bekerja sama dengan Medco Foundation juga membuka peluang beasiswa bagi aktivis NGO, jurnalis, dan tenaga pengajar. Informasi mengenai beasiswa ini dapat Anda temukan pada tautan berikut: http://bit.ly/2crTvS8. Worth to share yep!

Kedua beasiswa tersebut sejujurnya membuat saya bimbang. Saya seakan berada di persimpangan jalan, saya ragu jalan mana yang hendak saya pilih. Di satu sisi, pihak dari Universitas Indonesia beberapa kali menghubungi saya untuk mengambil kesempatan menjadi mahasiwa program studi Kajian Ketahanan Nasional . Namun di sisi lain, saya sangat tergoda dengan program studi Corporate Communication di Universitas Paramadina.

Sore itu, selepas pulang kantor, saya memantapkan hati saya untuk memilih Universitas Paramadina dengan berbagai pertimbangan. Pertama, saya bekerja sebagai praktisi komunikasi (Marketing Communication). Tentunya jika mengambil jurusan komunikasi maka akan sangat mendukung karir profesional saya. Kedua, saya rasa saya memiliki ikatan emosional dengan Universitas Paramadina. Dulu, saya pernah ingin berkunjung ke sana, namun tidak pernah berkesempatan. Entahlah, apakah itu alasan yang cukup berterima? Namun satu hal yang pasti, Universitas Paramadina sudah diakui keunggulannya dalam menyelenggarakan pendidikan. Apalagi saat itu, idola saya, Bapak Anies Baswedan menjabat sebagai Rektor Universitas Paramadina. Selain itu, setelah saya pikir-pikir ternyata Universitas Padjadjaran dan Universitas Paramadina memiliki kesamaan. Jika disingkat maka sama-sama UP! Aha, mungkin nanti jika ingin kuliah program doktor sepertinya saya perlu mencari kampus yang memiliki singkatan UP.

Oh ya, ada hal yang lupa saya ceritakan kepada tuan dan puan sekalian. Kuliah di Universitas Paramadina memungkinkan kita untuk bekerja sembari kuliah. Jadi pertanyaan pada judul tulisan, “Kerja sembari kuliah, mungkinkah?” Jawabannya sangat mungkin. Possible! Rata-rata beasiswa yang lain mewajibkan penerima beasiswa untuk mengikuti perkuliahan secara reguler (perkuliahan biasanya berlangsung hampir setiap hari dan jam kerja). Namun jika kalian kuliah di Universitas Paramadina, waktu kuliah biasanya dimulai pada pukul 7 malam dan berakhir pada pukul 9 malam (maksimal pukul 9.30 malam bergantung dosen). Anda tertarik mendapatkan beasiswa di Universitas Paramadina? Jika tertarik, pada tulisan berikutnya saya bercerita bagaimana perjuangan saya mendapatkan beasiswa beserta tips-tips yang mudah-mudahan bermanfaat. Viva Academia!

Jakarta, 7 September 2016.

Hari-Hari Tanpa Sekolah

 

Catatan Relawan Kelas Inspirasi

Oleh: Mahfud Achyar

IMG_1818
Hari Inspirasi di SDN Cijantung 07 Pagi (Foto oleh: Yeni Suryati)

“Mendidik adalah tanggung jawab setiap orang terdidik. Berarti juga, anak-anak yang tidak terdidik di Republik ini adalah “dosa” setiap orang terdidik yang dimiliki di Republik ini. Anak-anak nusantara tidak berbeda. Mereka semua berpotensi. Mereka hanya dibedakan oleh keadaan.” ― Anies Baswedan

Saya bergabung menjadi keluarga besar Kelas Inspirasi sejak tahun 2014. Namun sebelum menjadi relawan Kelas Inspirasi, saya beberapa kali mengikuti kegiatan sosial yang digagas oleh relawan Kelas Inspirasi Jakarta 4 yang bertajuk “Kunjungan Inspirasi”. Sama halnya dengan program Kelas Inspirasi, kegiatan Kunjungan Inspirasi bertujuan untuk memberikan motivasi kepada anak-anak untuk berani bermimpi, berani mengajar cita-cita mereka. Segmentasi Kunjungan Inspirasi yaitu anak-anak binaan di beberapa Taman Baca di Jakarta. Sejak mengikuti kegiatan tersebut, saya jatuh cinta dengan aktifitas sosial khususnya di bidang pendidikan.

Oleh sebab itu, ketika panitia Kelas Inspirasi Depok 2 membuka pendaftaran relawan, tanpa banyak pertimbangan saya putuskan untuk  mendaftar menjadi relawan pengajar (baca: inspirator). Setelah menunggu beberapa minggu, akhirnya saya menerima surat elektronik dari panitia Kelas Inspirasi Depok 2 yang menyatakan bahwa saya lolos seleksi pendaftaran relawan Kelas Inspirasi. Saat itu, rasa senang membucah dalam jiwa. Dalai Lama XIV pernah berkata, “Happines is not something ready made. It comes from your own actions.”

Satu hari cuti, seumur hidup menginspirasi. Begitulah semangat yang berusaha dipelihari oleh para relawan Kelas Inspirasi. Kami meyakini bahwa kegiatan Kelas Inspirasi (selanjutnya disingkat KI) tidak hanya menginspirasi anak-anak sekolah dasar, melainkan juga menginspirasi kami, para relawan. Sebelum Hari Inspirasi, semua relawan berkumpul untuk mendapatkan pengarahan dari panitia KI mengenai gambaran kegiatan pada Hari Inspirasi. Merinding. Saya merinding menyaksikan ternyata masih banyak orang-orang baik di bumi pertiwi ini. Mereka, saya menyebutnya invisible hands, adalah orang-orang yang nantinya akan membuat bangsa ini menjadi lebih baik lagi. Kapan? Entahlah. Saya sendiri tidak bisa membuat prediksi yang presisi. Namun satu hal yang patut saya yakini, Indonesia masih memiliki harapan. Para relawan, barangkali merekalah segelintir harapan itu. Selama harapan masih ada dalam setiap dada generasi muda Indonesia, saya yakin kondisi sulit sekalipun dapat ditangani dengan baik. Saya meyakini hal itu. Sungguh.

Suatu hari di kelas penelitian kualitatif, dosen saya berkata, “Indonesia itu surga untuk penelitian. Betapa tidak, hampir semua masalah ada di Indonesia.” Saya pun secara spontan menganggukkan kepala pertanda saya sependapat dengan dosen tersebut. “Iya, Indonesia itu banyak masalah! Iya, Indonesia itu belum bisa semaju Amerika atau Inggris! Iya, Indonesia itu banyak kurang sana-sini! Lantas, apakah saya hanya bisa menyalahkan kondisi pelik yang  dihadapi oleh negara saya sendiri?” tanya saya dalam hati.

John F. Kennedy, Presiden Amerika Serikat (1917-1963), pernah berkata, “Ask not what your country can do for you, ask what you can do for your country.” Semua orang bisa berteriak untuk menyalahkan, namun tidak semua orang bisa untuk berbuat, untuk turun tangan menjadi bagian dari perubahan itu sendiri. Terkadang saya lelah melihat, membaca, dan mendengarkan orang-orang yang sering sekali memproduksi konten yang mendestruksi bangsa ini di berbagai lini masa. Saya akui terkadang saya juga melakukan hal yang sama. Namun belakangan saya berpikir ulang, jika saya melakukan hal yang sama dengan mereka, maka saya tidak ada bedanya. Menyedihkan.

Ada satu kutipan yang sangat menginspirasi dalam hidup saya. “Kondisi buruk terjadi bukan karena banyaknya orang jahat di muka bumi ini. Namun karena orang-orang baik hanya diam dan berpangku tangan.” Bagi saya pribadi, barangkali menjadi relawan KI barangkali adalah salah satu cara untuk making the world a better place. I hope so!

Pengalaman menjadi relawan pengajar di SDN Depok 5 pada tahun 2014 membuka telinga, mata, dan hati saya bahwa permasalahan dunia pendidikan Indonesia sangatlah pelik dan kompleks. Jika ada teman yang menanyakan pendapat saya mengenai profesi guru, saya selalu katakan, “Percayalah menjadi seorang guru tidaklah mudah!”

Pagi itu, sebelum mulai mengajar di kelas 2, jantung saya berdegup sangat kencang. Saya gugup dan saya tidak yakin bahwa hari itu Dewi Fortuna berpihak kepada saya. Kondisi semacam itu sejujurnya sudah seringkali saya alami, misalnya, ketika ujian kelulusan atau mungkin wawancara beasiswa. Perasaan yang selalu sama: kacau. Namun saya berusaha menenangkan diri sembari hanya bisa bergumam, “Semuanya akan baik-baik saja. Semuanya akan berlalu.” All is well.

Menit-menit pertama mengajar merupakan momen yang sangat menyenangkan. Saya mulai berhasil menguasai suasana kelas. Kekhawatiran saya tentang sulitnya menjelaskan istilah-istilah Marketing Communication mampu saya atasi dengan cukup baik. Anak-anak terlihat antusias, mereka bertanya ini dan itu. Saya merasa senang karena mereka terlihat antusias mengikuti proses belajar mengajar. Namun selanjutnya apa yang terjadi? Chaos!

Seorang siswa laki-laki entah mengapa tiba-tiba menangis. Sontak suasana kelas berubah mencekam. Kondisi semakin tidak terkendali ketika ada dua orang siswa yang berkelahi, saling pukul di antara mereka berdua pun tidak bisa dielakkan.

Sementara itu, anak-anak yang dari tadi antusias mendengarkan penjelasan saya juga ikut berteriak, membuat gaduh semakin riuh. Beruntung saat itu saya didampingi oleh teman saya. Kami pun berbagi tugas untuk mendamaikan anak-anak yang berkelahi dan membuat suasana kelas tetap kondusif. Saya pun menghampiri anak yang tadi berteriak dan menangis.

Sambil terisak ia berkata, “Tas saya disembunyikan pak!” Saya berusaha menenangkannya, namun  ia meronta. Seakan ia tidak butuh pertolongan. Seorang anak menyahut, “Dia emang cengeng pak!” Mendengar hal tersebut, si anak semakin marah dan kesal. Kondisi demikian membuat saya kewalahan. Perlahan, saya coba tenangkan dia dan memintanya untuk kembali duduk di kursinya. Ia sempat menolak, namun akhirnya luluh setelah saya bujuk berulang kali. Melelahkan.

Selidik demi selidik, ternyata anak tersebut memang sering menjadi objek bullying di kelasnya. Hampir setiap hari, ada saja yang membuat ia marah dan kesal. Mengetahui hal tersebut, saya hanya bisa terdiam. Seketika memori masa lampau hadir kembali.

Source - i(dot)huffpost(dot)com
Girl comforting her friend (Source: i.huffpost.com)

Dulu, ketika saya di bangku sekolah dasar, bullying merupakan fenomena yang sudah biasa. Dalam bahasa Indonesia, bullying memiliki serapan kata yaitu perundungan. Ada banyak faktor mengapa seorang siswa bisa menjadi objek perundungan, misalnya ia memiliki rambut keriting, kulit hitam, atau hidung pesek. Tidak hanya lantaran fisik semata, objek perundungan bisa juga lantaran sang anak memiliki nama yang “unik” dan sebagainya. Terlepas dari hal itu semua, siapa pun punya potensi yang sama untuk menjadi objek perundungan di sekolah. Jika sang anak telah menjadi korban bullying, maka hari-hari di sekolah adalah hari-hari yang menyeramkan.

Tiga kali menjadi relawan KI, mulai dari tahun 2014 hingga 2016, saya menyaksikan fenomena bullying selalu ada, bahkan telah menjadi efek bola salju. Sayangnya, pemerintah, pihak sekolah, maupun orang tua siswa tidak begitu aware dengan kasus ini. Padahal menurut saya, bullying laiknya dementor yang menghisap kebahagiaan anak-anak yang mendambakan lingkungan sekolah yang aman dan nyaman. Bayangkan, setiap hari anak-anak korban bullying harus menghadapi kondisi psikologis yang buruk. Mereka diejek, mereka ditolak, mereka dihina, dan mereka dimusuhi. Sangat menyakitkan.

2 Mei 2016 lalu, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional, saya kembali menjadi relawan KI yang ditempatkan di SDN Cijantung 07 Pagi. Jika pada KI sebelumnya saya menjadi relawan pengajar dan fasilitator, tahun ini saya beranikan diri untuk menjadi relawan dokumentator, khususnya fotografer.

Ketika sesi pergantian pengajar, para relawan berkumpul di laboratorium yang menjadi base camp kami. Salah seorang relawan pengajar, Gicha Graciella (27 tahun), tampak kesal setelah mengajar di kelas 5. Ia bercerita bahwa ada seorang anak yang menjadi objek bullying teman-temannya lantaran bapaknya bekerja sebagai tukang parkir. Ia terus diejek oleh teman-temannya. Tidak hanya sekali, namun berulang kali. Gicha pun tidak tinggal diam. Sebagai seorang guru saat itu, ia berusaha memberi pengertian kepada para siswa bahwa sesama teman tidak boleh saling menyakiti. Kepada kami, Gicha kesal karena ternyata bullying menjadi hal yang dianggap lumrah terjadi di sekolah.

Senada dengan  Gicha, saya pun bersepakat bahwa seharusnya isu bullying menjadi perhatian banyak pihak. Apalagi pada tahun 2015 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melansir data yang mengejutkan dunia pendidikan Indonesia. “Jumlah anak sebagai pelaku kekerasan (bullying) di sekolah mengalami kenaikan dari 67 kasus pada 2014 menjadi 79 kasus pada 2015.” (Sumber: Republika.co.id, 30 Desember 2015).

Lebih lanjut, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Asrorun Ni’am Sholeh, mengatakan data naiknya jumlah anak sebagai pelaku kekerasan di sekolah menunjukkan adanya faktor lingkungan yang tidak kondusif bagi perlindungan anak.

Sebagai manusia dewasa, barangkali kita sulit memasuki perasaan anak-anak yang menjadi korban bullying. Bahkan, anak-anak korban bullying juga sulit untuk mengutarakan perasaan mereka yang setiap harinya dicela oleh teman-temannya. Menurut saya, akibat buruk dari bullying adalah timbulnya rasa benci dari korban bullying kepada teman-teman yang menjahatinya. Bahkan lebih parah, mereka benci dengan sekolah, mereka mungkin mendambakan hari-hari tanpa sekolah. Oleh sebab itu, melalui tulisan ini, saya berharap kasus bullying dapat menjadi fokus pemerintah, pihak sekolah, dan keluarga. Bukankah sekolah akan lebih menyenangkan bila tidak ada bullying? STOP BULLYING!

Jakarta,

7 Juni 2016

 

 

 

 

 

Photo Story: “Aku dan Masa Depanku”

Oleh: Mahfud Achyar

Collage - Photo Story
Collage – Photo Story Kelas Inspirasi Jakarta 5 (Foto paling atas sebelah kiri diambil oleh: Yeni Suryati)

Sebuah pepatah mengatakan, “A picture is worth a thousand words.” Rasanya saya sependapat dengan pepatah tersebut. Terlebih pada hari Senin, (2/05/2016) lalu, saya berkesempatan mengabadikan momen berharga selama kegiatan Hari Inspirasi di SDN Cijantung 07 Pagi Jakarta Timur.

Hari Inspirasi merupakan hari di mana para relawan Kelas Inspirasi bertemu dengan siswa-siswi Sekolah Dasar untuk berbagi cerita mengenai profesi mereka.

“Bangun Mimpi Anak Indonesia,” begitulah semangat yang menggelora dalam setiap jiwa para relawan.

Mereka berkorban waktu satu hari dengan harapan agar kelak generasi penerus bangsa menjadi generasi yang mampu membuat ibu pertiwi tersenyum. Para relawan, mereka datang dari berbagai profesi dan rehat sejenak dari rutinitas pekerjaan hanya untuk memastikan bahwa Indonesia masih memiliki orang-orang baik dan masih peduli dengan dunia pendidikan Indonesia.

Mengutip perkataan Menteri Pendidikan, Anies Baswedan, “Relawan tak dibayar bukan karena tak bernilai tetapi karena tidak ternilai.” Cuti satu hari, menginspirasi seumur hidup. Hanyalah itu yang mereka harapkan. Tidak lebih, tidak kurang.

Kelas Inspirasi adalah sub-program yang digagas oleh Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar yang memfasilitasi para profesional untuk turut ambil bagian menjadi penggerak kemajuan pendidikan Indonesia. Kendati hanya satu hari, semoga waktu yang singkat tersebut dapat memberikan secercah cahaya kebaikan demi menunaikan janji kemerdekaan Indonesia, “Mencerdaskan kehidupan bangsa!”

Tahun ini merupakan tahun ketiga bagi saya menjadi relawan Kelas Inspirasi. Saya bergabung menjadi relawan Kelas Inspirasi Depok 2 pada tahun 2014 dengan mendaftar menjadi Inspirator. Selanjutnya, berbekal pengalaman menjadi Inspirator, pada tahun berikutnya, 2015, saya beranikan diri untuk menjadi Fasilitator Kelas Inspirasi Jakarta 4.

“Menjadi relawan Kelas Inspirasi itu candu!” Tahun 2016, ketika pendaftaran Kelas Inspirasi Jakarta 5 dibuka, saya pun mendaftar pada hari pertama pendaftaran sebagai relawan Fotografer. Menjadi relawan fotografer adalah tantangan baru untuk saya. Walaupun saya sudah terbiasa dengan dunia fotografi, nyatanya mendokumentasikan kegiatan Kelas Inspirasi tetap saja membuat saya deg-degan. Saya khawatir tidak dapat menyajikan kualitas foto yang baik. Saya cemas bila kamera saya tidak berfungsi dengan baik. Namun saya beranikan diri dan berkata kepada hati saya, “Oke, saya akan melakukan yang terbaik semampu yang saya bisa.”

PS. Silakan unduh file pdf yang berisi photo story karya saya. Tautan: PHOTO STORY – AKU DAN MASA DEPANKU

Photo Story: Kelas Inspirasi Jakarta 5 “Satu Hari Kembali ke Sekolah”

Kelas Inspirasi (KI) merupakan salah satu program dari Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar (IM). Program ini memfasilitasi para profesional untuk kembali ke sekolah khususnya Sekolah Dasar selama satu hari dengan tujuan menginspirasi anak-anak Indonesia untuk #BeraniBermimpi.

Secara sederhana, para profesional menceritakan profesi mereka kepada anak-anak SD dengan harapan kelak di masa depan mereka bisa menjadi seperti mereka atau bahkan jauh lebih hebat dari para inspirator (sebutan pengajar Kelas Inspirasi). Hal ini menjadi penting mengingat saat ini di dunia kerja begitu beragam profesi yang ada. Tidak hanya ada profesi yang populer seperti dokter, polisi, ataupun tentara. Nyatanya di dunia kerja ada profesi seperti chef, designer interior, dan masih banyak lagi.

Tahun ini, Kelas Inspirasi Jakarta kembali digelar untuk yang kelima kalinya. Bagi Kelas Inspirasi Jakarta 5, tahun ini sangat spesial karena Hari Inspirasi bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada tanggal 2 Mei 2016.

Saya menjadi relawan Kelas Inspirasi untuk kali ketiga. Namun pada Kelas Inspirasi tahun ini, saya mengambil peran menjadi relawan fotografer (amatir) yang tergabung dalam kumpulan orang-orang hebat di Kelompok 42.

Berikut 5 foto dokumentasi ketika Hari Inspirasi di SDN Cijantung 07 Pagi Jakarta Timur:

1
Foto 1

Menunggu Upacara Bendera

Siswi-siswi SDN 07 Cijantung Pagi Jakarta Timur pada Senin, (02/05/2016) terlihat begitu antusias menunggu upacara bendera. Pada hari itu, upacara bendera di sekolah mereka berbeda dibandingkan upacara-upacara sebelumnya. Betapa tidak, pada hari itu bertepatan dengan peringatan Hari Pendidikan Nasional. Selain itu, sekolah mereka juga kedatangan para relawan Kelas Inspirasi Jakarta 5 yang akan berbagi cerita tentang profesi mereka. Bagi siswi-siswi tersebut, jelas hari itu adalah hari yang berbeda, hari yang spesial karena tidak ada PR.

 

2.JPG
Foto 2

Guru, Tidak Hanya Mengajar Namun Juga Mendidik

Gicha Graciella (27 tahun) merupakan seorang konsultan komunikasi. Ia baru pertama kali menjadi relawan Kelas Inspirasi. Ia menceritakan bahwa mengikuti Kelas Inspirasi bukan hanya tentang berbagi, namun juga sebagai bentuk komitmennya bahwa sesuatu yang baik dan berguna perlu disebarkan dengan lebih luas. Ia yakin setiap orang berilmu di negeri ini memiliki kewajiban untuk mendidik generasi mendatang. Ada satu pengalaman yang cukup berkesan ketika ia menjadi inspirator Kelas Inspirasi. Menurutnya, salah satu persoalan pelik di dunia pendidikan di Indonesia yaitu masalah bullying. Ia bercerita, “Selama saya mengikuti kelas inspirasi, saya melihat ada beberapa anak yang mendapat kekerasan verbal dari teman-temannya. Saya menyadari bahwa mendidik bukan hanya tentang mengajarkan mereka untuk mengerti mata pelajaran dan hal-hal yang bersifat teoritis.” Gicha, begitu ia akrab disapa, mengatakan bahwa mendidik adalah tumbuh bersama mereka, memahami kebutuhan mereka, dan memenuhi hak-hak mereka.

3.JPG
Foto 3

Tidak Perlu Ada Sekat Antara Guru dengan Murid

Ada ungkapan yang mengatakan, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari.” Predikat menjadi seorang guru memang tidak mudah. Ia menjadi contoh, ia menjadi role model untuk anak didiknya. Hubungan guru dan murid tidak hanya sebatas orang yang mengajar dan orang yang diajar. Guru dan murid juga bisa saling bersahabat. Bukankah menyenangkan memiliki guru sekaligus sahabat?

4.JPG
Foto 4

Belajar Tidak Hanya di Kelas

Annisa Aulia Handika (23 tahun) mengajak siswa-siswinya untuk belajar di luar kelas. Sebelum ia mulai mengajar, seorang siswa membuang hajatnya di kelas. Hal tersebut membuat aroma kelas menjadi tidak sedap. Ollie, begitu ia memanggil namanya, mengatakan bahwa belajar tidak perlu di ruang kelas. Siswa-siswi bisa belajar dimana saja, asalkan ia nyaman menjalani proses belajar mengajar. Profesinya sebagai Oseanografer sangat menarik antusias anak-anak. “Ini pertama kalinya saya mengikuti Kelas Inspirasi dan langsung ketagihan untuk ikut lagi,” ungkap Ollie. Selama mengajar, Ollie berulang kali mengatakan bahwa laut di Indonesia itu sangat luas dan sangat indah. Oleh sebab itu, kita perlu bersama-sama menjaga kekayaan laut yang kita punya. Mengajar itu nagih! “Saya menjadi lebih bersemangat untuk terus berbuat lebih untuk banyak orang,” ungkapnya.

5.JPG
Foto 5

Dari Balik Jendela

Saya adalah seorang relawan fotografi. Saya memang tidak menginspirasi mereka secara langsung. Sungguh, tidak sama sekali. Hal yang terjadi justru sayalah yang terinspirasi dari anak-anak sekolah dasar. Saya menangkap momen ketika mereka tertawa lepas, ketika mereka marah, ketika mereka kesal, atau ketika mereka bosan. Namun dari semua mata yang sudah abadikan dengan kamera, ada satu hal yang membuat saya merinding. Saya melihat di dalam mata mereka ada binar harapan untuk masa depan yang jauh lebih hebat, jauh lebih gemilang. Teruslah bersemangat menggapai cita-cita wahai tunas bangsa!

Demikianlah, satu hari cuti satu hari menginspirasi! Ayo #BangunMimpiAnakIndonesia

Jakarta,

10 Mei 2016

Liveable City Ala Ridwan Kamil

oleh: Mahfud Achyar

Ridwan Kamil - Foto Mahfud Achyar (2)
Ridwan Kamil dalam Forum FPCI (Foto oleh: Mahfud Achyar)

Ridwan Kamil atau yang akrab disapa Kang Emil, barangkali adalah salah satu tokoh di Indonesia yang begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia. Kendati ia menjabat sebagai walikota Bandung, Emil dikenal luas oleh masyarakat lantaran aktif berinteraksi dengan masyakat (netizen) melalui media sosial miliknya seperti Instagram, Facebook, dan juga Twitter.

Kerap kali Emil berujar bahwa ia adalah ‘Anak Twitter’ yang menjadi walikota. Maka takheran di sela-sela kesibukannya menjadi wali kota Bandung, Emil masih sempat menulis buku yang berjudul “#Tetot: Aku, Kamu, dan Media Sosial” yang diterbitkan pada tahun 2014 lalu. Buku tersebut berisi tentang pengalaman Emil, baik sebelum mendapatkan amanah menjadi walikota Bandung maupun sesudahnya. Ia berharap buku tersebut dapat menginspirasi banyak orang berkaitan dalam membangun dan mendesain kota yang livable.

Mercer’s Quality of Living Survey setiap tahunnya mengeluarkan daftar kota yang mendapatkan predikat sebagai “The World’s Most Livable Cities”. Survey ini membandingkan 215 kota berdasarkan 39 kriteria seperti keamanan, pendidikan, kebersihan, rekreasi, stabilitas politik-ekonomi, dan transportasi public.

Selain itu, The Economist juga melansir survei standar hidup setiap tahunnya. Pada tahun 2015 ini, kota Melbourne di Australia menduduki peringkat pertama sebagai “The World’s Most Livable City” kemudian pada peringkat runner-up diraih oleh kota Vienna, Austria.

Pada laman resmi The Economist, kriteria sebuah kota dikatakan sebagai livable city yaitu, “The ranking, which considers 30 factors related to things like safety, healthcare, educational resources, infrastructure and environment in 140 cities, shows that since 2010 average liveability across the world has fallen by 1%, led by a 2.2% fall in the score for stability and safety.” (The Economist, 18 Agustus 2015).

Menyoal livable city, Emil yang juga sebagai seorang arsitektur berupaya mewujudkan Bandung sebagai kota yang berbahagia melalui peningkatan indeks kebahagiaan. Emil mengatakan bahwa kemajuan bangsa tidak hanya diukur dari GDP (Gross Domestic Product) atau PDB (Produk Domestik Bruto), melainkan juga dilihat dari Happiness Index. Indonesia sendiri menduduki posisi 19 dari 150 negara. “Inovasi happiness adalah konsep yang usung untuk memperbaiki value di Bandung,” kata Ridwan Kamil saat Conference & Expo Indonesia Knowledge Forum III di Jakarta. (Tribunnews, 10 Oktober 2014).

Untuk mewujudkan cita-cita Emil menjadikan Bandung sebagai “Kota yang Berbahagia”, walikota yang lahir di Bandung pada tanggal 4 Oktober 1971 ini menggulirkan program-program pamungkas di antaranya membuat taman tematik seperti Taman Jomblo, Taman Film, Taman Skate, Taman Pustaka Bunga, Taman Binatang Peliharaan (Pet Park), Taman Fotografi, Taman Musik Centrum, Taman Persib, Taman Super Hero, dan sebagainya.

IMG_5691
Gerbang Menuju Alun-Alun Kota Bandung

Emil berupaya menyediakan RTH (Ruang Terbuka Hijau) lebih banyak lagi dengan harapan warga Bandung khususnya dan juga warga di luar Bandung umumnya dapat menikmati suasana kota Bandung dengan hati riang gembira.  Dalam forum Super Mentor 3, Emil mengatakan bahwa untuk membuat orang lain bahagia dapat dilakukan dengan hal-hal yang sederhana seperti menyediakan ruang terbuka hijau yang memungkinkan orang-orang bisa berkumpul, saling menginspirasi, dan berbuat sesuatu yang positif untuk Bandung dan juga Indonesia.

Tidak hanya mempercantik kota ‘Kembang’ dengan taman-taman yang ciamik, putra dari pasangan Atje Misbach Muhjiddin dan Tjutju Sukaesih ini juga menggulirkan program-program inovatif seperti Culinary Night yang menjadi sarana bagi warga Bandung dalam mengembangkan jiwa entrepreneurship. Selain itu, bagi turis yang ingin berkeliling kota Bandung dapat menaiki Bandung Tour on de Bus (bus wisata Bandros) yang didesain unik menyerupai bus klasik di Eropa. Salah satu hal menarik lainnya di Bandung adalah, Emil juga memfasilitasi warga Bandung untuk ‘nonton bareng’ pertandingan klub sepak bola kebanggaan Bandung yaitu Persib yang digelar di Taman Film yang berlokasi di Jalan Layang Pasupati, Bandung.

Sejak menjabat sebagai walikota Bandung pada tahun 2013, telah banyak penghargaan yang dialamatkan untuk Bandung. Ridwan Kamil dan wakilnya, Oded M. Danial, tercatat telah menerima sekitar 149 penghargaan. Berbagai penghargaan yang diterima tidak lepas dari berbagai peran banyak pihak yang turut menyukseskan berbagai program yang dijalankan selama kurun waktu dua tahun ini. Prestasi paling anyar yaitu kota Bandung masuk finalis 6 besar dunia untuk inovasi Smart City dari World Smart City Organization di Barcelona. Pada fan page di Facebook, Ridwan Kamil mengatakan bahwa Bandung bersaing dengan kota-kota seperti Moskow, Dubai, Buenos Aires, Curitiba, dan Peterborough. “Bandung diapresiasi karena banyak memberikan ruang bagi warga untuk berinteraksi aktif dalam mengawasi pembangunan kota dengan inovasi “Connected Citizens: Encouraging Participatory Governance” seperti citizen complaint online, rapor camat/lurah oleh warga (SIP), monitoring program kerja Pemkot (Silakip), perizinan online (Hayu U), komunikasi aktif warga melalui akun Twitter setiap dinas, dan sebagainya,” tulis Emil (18/11/2015).

Pada hari jadi kota Bandung yang ke-205, suami dari Atalia Praratya Kamil ini berharap agar warga Bandung menjadi masyarakat paling bahagia se-Indonesia.  Kepada warga Bandung, Emil berpesan agar senantiasa mencintai Kota Bandung dengan aksi dan solusi. Dia meminta agar warga Bandung memperlakukan kotanya seperti ibu sendiri. (Kompas.com, 23 September 2015).

“Kini bukan jamannya mengubah jaman sendirian. Kita perlu bersama-sama, kita perlu berkolaborasi. Kolaborasi itu ibarat kunci pintu rumah yang bernama masyarakat madani,” pesan Emil.

Indonesia Sebagai Tujuan Halal Tourism

Oleh: Mahfud Achyar

Probolinggo, Jawa Timur
Probolinggo, Jawa Timur

Pada abad ke-17 hingga pertengahan abad ke-20, bumi nusantara menjadi magnet yang kuat sehingga menarik banyak negara khususnya bangsa Eropa untuk datang. Hal ini lantaran Indonesia memiliki kekayaan alam berupa rempah-rempah yang tidak dimiliki oleh negara-negara di Eropa seperti Belanda, Inggris, dan Portugis. Bangsa Eropa sangat membutuhkan rempah-rempah, terutama pada saat musim dingin. Sebab rempah-rempah dapat diolah menjadi produk makanan dan minuman yang menghangatkan badan. Kekayaan alam tersebutlah yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai negara yang diperebutkan oleh banyak negara hingga pada akhirnya Indonesia memasuki era kolonoliasme di bawah pendudukan Belanda yang berlangsung selama 3,5 abad lamanya.

Tidak hanya dulu, hingga sekarang pun Indonesia masih dikenal sebagai negara yang subur dan memiliki hasil alam yang melimpah ruah. Namun sayangnya potensi hebat yang dimiliki Indonesia tidak lantas membuat Indonesia negara yang sejahtera dan makmur. Oleh sebab itu, rasanya kita perlu menggali kembali potensi Indonesia yang kiranya dapat menjadi aset yang dapat dibanggakan dan menjadi perhatian dunia. Apalagi pada penghujung tahun 2015 ini, Pasar Ekonomi Asean resmi dibuka. Hal ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara di kawasan Asean dan juga di tingkat global. Salah satu aset penting yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yaitu Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia itu sendiri. Potensi sumber daya manusia Indonesia tersebut bisa dijadikan landasan atau faktor dalam mengembangkan berbagai sektor di Indonesia. Salah satunya adalah sektor wisata.

Pada 30 hingga 2 November 2013 lalu, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam kegiatan Indonesia Halal Expo (Indhex) 2013 & Global Halal Forum meluncurkan produk baru dalam industri pariwisata yaitu halal tourism. Ide ini diusung mengingat Indonesia merupakan negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Hal tersebut diketahui berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center, yaitu lembaga riset yang berkedudukan Washington DC, Amerika Serikat, yang bergerak pada penelitian demografi, analisis isi media, dan penelitian ilmu sosial. Pada tanggal 18 Desember 2012, Pew Research Center mempublikasikan risetnya yang berjudul “The Global Religious Landscape” mengenai penyebaran agama di seluruh dunia dengan cakupan lebih dari 230 negara.

Riset tersebut memaparkan total jumlah penduduk Muslim yang tersebar di berbagai negara yang berjumlah 1,6 miliar atau sekitar 23,2% dari total jumlah penduduk dunia. Indonesia dinobatkan sebagai peringkat pertama penganut agama Islam terbesar dengan total 209.120.000 jiwa (87,2%) dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.641.326 jiwa. Data tersebut juga diperkuat oleh data sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010.

The Global Religious Landscape

The Global Religious Landscape

Tidak hanya sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, namun Indonesia juga diacungi jempol oleh dunia karena mampu menjalankan demokrasi dan dialog antarumat beragama dengan baik. Menteri Luar Negeri RI, Retno Lestari Marsudi, pada pembukaan “Confrence on Indonesia Foreign Policy 2015” yang digelar di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, (13/06/2015) mengungkapkan, “Indonesia is a country where Islam and democracy can go hand in hand, at the same time interfaith dialogues are enabled.”

Artinya dengan potensi yang dimiliki Indonesia, semestinya Indonesia bisa menjadi negara yang sukses dalam mengembangkan halal tourism. Indonesia memiliki reputasi yang positif sebagai negara demokrasi dan negara yang toleran dalam beragama. Namun sayangnya, konsep mengenai halal tourism di Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Malaysia. Padahal Indonesia memiliki potensi wisata yang sudah diakui dunia. Berbagai ulasan di internet bahkan menyebutkan Indonesia sebagai salah satu negara yang wajib dikunjungi. Kecantikan, keelokkan, dan keunikan Indonesia memang tidak usah diragukan lagi.

Permintaan produk halal, baik itu makanan, minuman, maupun wisata halal semakin meningkat. Thomson Reuters memperkirakan, pada tahun 2019 pasar makanan halal bernilai US$ 2,537 miliar (21% dari pengeluaran global), pasar kosmetik halal menjadi US$ 73 miliar (6,78 % dari pengeluaran global), dan kebutuhan personal halal menjadi US$ 103 miliar (6,6 % dari pengeluaran global). “Untuk pasar terbesar makanan halal, yaitu Indonesia sebesar US$ 190 miliar, Turki US$ 168 miliar, dan Pakistan menempati urutan ketiga sebesar US$ 108 miliar. Lalu, Indonesia juga berada di urutan ketiga untuk pasar farmasi terbesar, yaitu dengan angka US$ 4,9 miliar. Sementara, Indonesia tidak menjadi pasar terbesar untuk kosmetik halal,” ujar Marco Tieman, CEO LBB International. (Marketeers edisi April 2015, hal 60).

Untuk sektor wisata, Sapta Nirwandar yang saat ini sebagai Perwakilan Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah, dalam (Marketeers edisi April 2015, hal 61) mengatakan potensi pariwisata halal begitu besar. Berdasarkan data dari UNWTO Tourism Highlights tahun 2014, terdapat sekitar 1 miliar wisatawan dunia dan diperkirakan akan naik menjadi 1,8 miliar pada tahun 2030 mendatang. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, Indonesia seharusnya mampu memaksimalkan potensi itu. Oleh karena itu, Indonesia sudah mulai mempromosikan diri sebagai negara tujuan pariwisata yang muslim-friendly.

Akan tetapi, Indonesia kurang memperluas segmentasi pasar untuk indsutri pariwisata, khususnya pasar untuk Muslim traveler. Kondisi demikian membuat Indonesia kurang mendapat tempat di hati para Muslim traveler. Sejatinya sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam, tentu mudah bagi Indonesia untuk mengembangkan konsep halal tourism. Namun nyatanya tidak semudah yang dibayangkan. Para pemain di industri pariwisata belum yakin pada potensi pasar wisata halal dengan dalih takut dianggap terlalu kaku dan tertutup. Pelabelan wisata halal di Indonesia belum lazim ditemukan.

Menanggapi hal tersebut, Mantan Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, Sapta Nirwandar, menilai bahwa dengan menonjolkan suku, agama, ras, dan golongan tertentu bukanlah hal yang populer. Ia berpendapat bahwa untuk meraih tujuan yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan bersama, pelabelan yang identik dengan agama atau suku, misalnya, itu boleh-boleh saja seperti halnya memberikan label wisata hala yang tujuannya mengembangkan kepariwisataan tanah air. (Marketeers edisi Juni 2015, hal 149).

Situs The Halal Choice melansir data mengenai “8 Destinasi Wisata untuk Turis Muslim.” Dari delapan negara yang disebut, Indonesia sama sekali tidak masuk sebagai negara yang menjadi destinasi oleh Muslim traveler. Padahal potensi untuk segmentasi tersebut sangat besar. Jumlah umat Muslim di dunia yang mencapai 1,6 milir jiwa, sekitar 25% dari populasi dunia, tentunya hal tersebut menguntungkan bagi Indonesia. Tidak hanya itu, Global Islamic Economy report pada tahun 2013 menyatakan bahwa setidaknya ada US$ 140 miliar potensi yang bisa masuk dari Muslim traveler. Sayangnya Indonesia kurang memanfaatkan peluang tersebut.

Berikut delapan negara yang menjadi tujuan Muslim traveler dan telah mengembangkan konsep halal tourism seperti yang dipaparkan oleh The Halal Choice:

No. Nation Description
1. Malaysia This Asian country with 60% Muslims attracts most of the Muslim tourists worldwide and has been frontrunner with regards to anything halal. ‘Unity in Diversity’ is the national motto of this fantastic melting pot of Malay, Indian and Chinese cultures as well as a mixture of Islamic, Hindu, Buddhist and Animist traditions. The country can be divided into two: Peninsular Malaysia with its amazing cities, forested highlands and fringing islands, and East Malaysia, the north of the island of Borneo with its dense rainforests, orangutans and animist tribes.
2. Turkey This country has made a dramatic turn with regards to Islam and Muslims. Its founder Ataturk tried to exclude Islam out of public life and push Islam to become a private issue at home. However, Turkey has managed to become a major exporter of halal products with an interest in halal tourism and Islamic fashion. It has become an inviting country of great diversity, with quiet villages and busy cities. A country full of history where tradition coexists with modernity, where mobile phones ring in bazaars scented with saffron and traditional Turkish hospitality.
3. UEA Seven emirates make this country a giant with regards to tourism and not only Islamic tourism. Whereas Dubai and Abu Dhabi are the main regions to attract most of the tourists Sharjah is following closely and even Ras Al Khaimah and Ajman are massively participating on the halal market. The country is the greatest show on earth with an astonishing blend of Arabian tradition and super modern skyscrapers. Fabulous oil wealth and an undescribable business mentality have made out of an impoverished Bedouin backwater of the world’s most exciting cities with old-style souqs, wind towers, heritage villages, modern skyline, long corniches and fine beaches. Enjoy shopping in the biggest malls of this world, wadi-bashing (four-wheel-driving around oases) and a cultural mix of Arab and millions of Expats from the West and Asia.
4. Singapore Despite it not being a Muslim country this city-state is surrounded by a Muslim giant, Malaysia. This has automatically influenced Singapore’s interest in Islamic tourism and halal offers. Visit quirky ethnic neighbourhoods and world-class museums, historic places of worship and fabulous markets. Its ethnic mix of people gave this little city-state 4 official languages: Chinese, Malay, Tamil, English. It’s perfect for a family holiday with lots to do for the kids and the parents.
5. Russia After the breakup of the Soviet Union, Russia had to open to the world and to its massive Muslim population and Muslim neighbours. It has seen the potential of halal tourism and attracts many Russian-speaking Muslims and tries to promote halal products with an annual fair in Moscow. This massive country stretches across 11 time zones from the Baltic to the Bering Sea. Russia is home to the world’s largest forest (the taiga) and its deepest lake (Lake Baikal), stunning tsarist palaces, Stalinist skyscrapers, contrasting Orthodox Churches next to Mosques and a big Muslim minority in the South but also in the capital Moscow.
6. China As one of the next superpowers China has realised that the Muslims are good for business and offers Islamic heritage tours to its Muslim provinces and to its major cities. Although it is not a Muslim country, China has a lot of Islamic history and a Muslim minority of 60 to 100 million people. Home to one in six human beings on the planet, the new leader is not Chairman Mao but the yuan, and consumerism is the new religion; this massive country with an incredibly rich past and history has so much to offer that it would satisfy the needs of any traveller Muslim and Non-Muslim alike.
7. France This is the only Western European country which can be found in the top 8 and has been attracting Muslim tourists mainly to Paris. Despite its Islamophobic policy it has been trying to become a centre for Islamic Banking. There are about 10% Muslims in France and a massive percentage of French reverts who are the main push for their country to open to the Muslims. Don’t forget that this country offers Mediterranean culture and cuisine as well as Western European lifestyle. It is home to the biggest African diaspora in the world with areas that rather resemble Africa than Europe. Take a walk through Paris’ Latin Quarter and the famous Champs-Elysees, enjoy the French Alps, visit the great chateau in Versailles and feel at home in Marseille!
8. Thailand This Asian country has been receiving a big number of mainly Muslim Gulf Arabs and has started offering specific halal services to them. It has a smaller Muslim population especially in the south and will have to adjust its policy towards this minority in the future. For a traveller this country offers pretty much everything: great beaches, dense jungles, ruined cities at Sukhotai and Ayuthaya, pristine rainforests, exotic islands, golden monasteries, captivating coral reefs, relaxed locals, energetic cities, atmospheric tribal villages, floating markets, elephant rides, colour-coded curries, steamy tropical weather, mouth-watering cuisine with halal choice, luxury hotels and low cost accommodation.Thailand is hungrily eyeing the Muslim travel boom. Its tourism authority which has an office in Dubai is promoting halal spas for Muslim tourists, who require strict privacy for male and female clients. It also organised a month-long festival of Thai cuisine in the UAE from June 8 to July 7 2012. Crescentrating’s study ranked Bangkok’s Suvarnabhumi Airport the most Islam-friendly airport in a non-Muslim country.

Apa Itu Halal Tourism?

Wisata Syariah atau Halal Tourism adalah salah satu sistem pariwisata yang diperuntukan bagi wisatawan Muslim yang pelaksanaanya mematuhi aturan syariah. Dalam hal ini, hotel yang mengusung prisip syariah tidak melayani minuman beralkohol dan memiliki kolam renang dan fasilitas spa terpisah untuk pria dan wanita. (Ikhsan Arby, 2015: 1)

Lebih lanjut, Ikhsan Arby (2015: 1) menambahkan bahwa halal tourism lebih mengedepankan pelayanan berbasis standar halal umat Muslim seperti penyediaan makanan halal, tempat ibadah, informasi masjid terdekat, dan tidak adanya minuman beralkohol di hotel tempat wisatawan menginap. Kemenparekraf fokus melakukan pelatihan dan sosialisasi mengenai halal tourism pada empat jenis usaha pariwisata, yaitu hotel, restoran, biro perjalanan, dan spa.

Sementara itu, Sapta Nirwandar mengatakan bahwa keberadaan halal tourism adalah extended services. “Kalau tidak ada dicari, kalau ada, bisa membuat rasa aman. Halal tourism bisa bergandengan dengan yang lain. Sifatnya bisa berupa komplementer, bisa berupa produk sendiri. Misalnya ada hotel halal, berarti membuat orang yang mencari hotel yang menjamin kehalalan produknya akan mendapatkan opsi yang lebih luas. Ini justru memperluas pasar, bukan mengurangi. Dari yang tadinya tidak ada, jadi ada,” jelas Sapta. (Marketeers edisi Juni 2015, hal 149).

Lebih lanjut, Sapta memaparkan bahwa tantangan kurang berkembangnya halal tourism di Indonesia lantaran adanya persepsi yang negatif terhadap Islam, terhadap Muslim traveler. Anehnya, ini datang dari umat Muslim sendiri. Mereka tidak percaya diri. Padahal, gaya hidup halal memberikan lebih banyak pilihan. “Contohnya dari sekian banyak restoran, ada halal food, kan, tenang. Adanya sertifikasi halal itu memberikan rasa aman. Untuk umat selain Islam, makanan halal juga bukan masalah kan? Justru menurut penelitian, makanan halal itu termasuk good food. Secara spritual, orang Muslim mendapatkan benefit. Secara fisik, untuk non-Muslim, ya, makanannya sehat,” tambah Sapta.

Selain itu, pemerintah sendiri mengakui bahwa promosi halal tourism di Indonesia belum optimal sehingga menyebabkan brand halal tourism belum dikenal luas oleh turis lokal dan mancanegara. Padahal jika pemerintah serius mengembangkan brand halal tourism tentu pariwisata di Indonesia jauh lebih berkembang.

Menurut penelitian dari Crescentrating, pengeluaran wisata Muslim dalam suatu perjalanan wisata sangat tinggi. Dapat dibayangkan uang yang dihabiskan wisatawan Muslim di dunia pada tahun 2011 mencapai 126 milyar dolar AS atau setara Rp. 1.222,1 triliun. Angka ini dua kali lebih besar dari seluruh uang yang dikeluarkan oleh wisatawan Cina yang mencapai 65 dolar AS atau setara Rp 630 triliun.

Pekerjaan rumah bagi pemerintah Indonesia yaitu harus berani mempopulerkan halal destination. Sapta (dalam Marketeers edisi Juni 2015, hal 150) memaparkan bahwa hal utama yang harus dilakukan adalah mengubah mindset masyarakat Indonesia. Kemudian memberikan edukasi, informasi, baru masuk ke tataran policy. “Kalau pemahaman ini merata, kita bisa melaksanakan hal itu lebih mudah. Kalau kita mau kembali ke esensi orang, kita harus menghargai praktik yang dilakukan tiap individu. Kita memfasilitasi kebutuhan individu. Kita membuka opsi lebih banyak bagi orang-orang yang punya preferensi khusus,” terang Sapta.

Strategi Branding Halal Tourism

Brand halal tourism di Indonesia memang belum terlalu moncer sehingga takbanyak wisatawan lokal dan mancanegara yang mengetahui brand tersebut. Oleh sebab itu, pemerintah perlu bekerja lebih keras lagi untuk mempromosikan brand tersebut. Namun, sebetulnya persoalan promosi halal tourism juga bisa dilakukan oleh masyarakat umum, khususnya generasi muda yang melek teknologi.

Saat ini, kita memasuki era digital yang memungkinkan siapa pun untuk melakukan diplomasi secara personal kepada dunia. Internet (interconnection network) menghubungkan satu negara dengan negara lain, menghubungkan satu individu dengan individu lain. Maka keberadaan internet sudah selayaknya dimanfaatkan untuk mempromosikan brand halal tourism Indonesia kepada dunia internasional.

Dalam perspektif communication studies, sekarang mulai berkembang istilah digital marketing communication, yaitu suatu usaha untuk mempromosikan sebuah brand (merek) dengan menggunakan media digital yang dapat menjangkau konsumen secara tepat waktu, personal, dan relevan. Digital marketing communication turut menggabungkan faktor psikologis, humanis, antropologi, dan teknologi yang akan menjadi media baru dengan kapasitas besar, interaktif, dan multimedia. Hasil dari era baru berupa interaksi produsen, perantara pasar, interaktif, dan multimedia. Digital marketing communication mendukung pelayanan perusahaan dan keterlibatan dari konsumen. (Sumber: Wikipedia)

Berbeda dengan pemasaran konvensional melalui media massa, digital marketing communication menggunakan media baru yang dikenal dengan internet yang memiliki dampak pada meluasnya lingkup pemasaran dan melampaui batasan tradisional seperti zona waktu geografi dan batas regional. Era pemasaran digital juga mengubah prilaku konsumen yang dulu belum pernah dikenal dalam era pemasaran konvensional. Pada era pemasaran digital, peran konsumen tidak hanya sebatas objek dari produsen, namun konsumen memiliki peran penting dalam perkembangan bisnis sebuah perusahaan.

Dalam dunia digital, segala sesuatu bisa terjadi dalam satu juta mil perjam. Konsumen sudah terbiasa mendapatkan informasi yang mereka butuhkan secara cepat. Hal ini menunjukkan bahwa lambat laun strategi pemasaran konvensional semakin ditinggalkan. Konsumen lebih memilih menjadi aktor penting dalam pemasaran digital. Maka sudah sepatutnya, Indonesia harus menjawab kebutuhan halal tourism. Indonesia harus dapat memanfaatkan momentum pemasaran digital untuk melakukan ekspansi yang jauh lebih besar dari saat ini dicapai. Ketika semua proses sudah dijalankan dengan baik, maka Indonesia akan mudah menggaet Muslim traveler untuk menikmati produk halal tourism yang menjadi salah satu produk dalam industri pariwisata di Indonesia.

Dalam menjalakan strategi digital marketing communication (Mahfud Achyar, 2013), ada beberapa langkah yang harus dilakukan, yaitu:

1. Digital Marketing Planning Framework – A Defining Participants Print & Goals

Tahapan “A Defining Participant & Goals” berguna untuk menangkap esensi dari sekelompok orang yang terdiri dari konsumen. Elemen-elemen kunci dari Participant Print yang harus diperhatikan oleh pemerintah Indonesia untuk memetakan potensi pasar halal tourism.

2. Digital Marketing Planning Framework – Creating Your Digital Platform

Digital Platform Proposition bertujuan untuk menjalin dan mengikat hubungan harmonis antara Kementerian Pariwisata dengan konsumennya dalam aktivitas keseharian. Kemenpar RI secara otomatis harus memberikan informasi-informasi berkaitan potensi halal tourism di Indonesia dan produk-produk yang dimiliki kepada konsumen.

3. Digital Marketing Planning Framework – Generating Awareness and Influence

Pada tahap ini, langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Kemenpar RI adalah membangkitkan kesadaran dan pengaruh konsumen terhadap brand halal tourism. “Decisions at this stage include selecting your digital media and sponsorship options, developing a search marketing strategy, and integrating offline marketing activities with your Digimarketing activities.” Pemerintah harus merencanakan proses sehingga dapat menjawab pertanyaan, “How will people know about I’ve created?”

4. Digital Marketing Planning Framework – Hernessing Data, Analytic, and Optimization

Bagian ini membahas tentang pentingnya persoalan data dan disiplin analisis dari sudut pemasaran secara langsung. Dalam dunia pemasaran digital, data menjadi hal yang sangat penting dan krusial. Dengan datalah, para penggiat dunia marketing digital dapat mengeluarkan strategi-strategi yang pamungkas dan tepat sasaran. Oleh sebab itu, sudah semestinya perencanaan data yang akurat, detail, dan rinci menjadi hal pokok yang harus dipenuhi dalam DigiMarketing.

5. Social Media and Online Consumer Engagement – Engaging Online Consumer on Social Media

Pada bagian ini membahas tentang keterlibatan konsumen online dan media sosial.

6. Online Public Relations and Reputation Management

Pada bagian ini membahas tentang manajemen reputasi dan hubungan masyarakat online dalam komunikasi pemasaran digital. Dalam digital marketing communication, internet memiliki pengaruh yang luar biasa hebatnya. Suka atau tidak, internet merupakan salah satu alat opini yang paling kuat memberikan efek yang cepat. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia yang mulai fokus menggarap digital marketing communication, Kemenpar RI harus conncern mengelola hubungan yang baik dengan Muslim traveler.

7. Affiliate Marketing and Stategic Partnership

Bagian ini membahas afiliasi pemasaran dan pentingnya kerja sama strategis dalam komunikasi pemasaran digital.

8. Digital Mobil Platform and Marketing

Bagian ini membahas dasar komunikasi pemasaran berbasis digital dan dinamis (bergerak).

9. Game (Gamification) and Marketing

Bagian ini membahas tentang gamifikasi pemasaran digital melalui media baru.

Digital Media Planning, Campaign Return of Investment (ROI), Marketing Analysis, and Reporting
Bagian ini membahas tentang bagaimana menyusun perencanaan dalam media digital untuk komunikasi pemasaran; menghitung return of investment dalam kampanye digital; dan menganalisis serta melaporkan komunikasi pemasaran digital.

Dave Chaffey (2015) mengidentifikasi setidaknya ada enam tipe digital marketing communication yang dapat dimanfaatkan untuk menggaet pasar untuk membeli produk atau menggunakan jasa yang dipasarkan.

Types of Digital Media Communication Channels
Types of Digital Media Communication Channels

Lebih lanjut, agar Muslim traveler tertarik dengan brand halal tourism, Kemenpar RI harus mulai mengubah pola pendekatan kepada pasar yang mulanya customer path hanya 4A (Aware, Attitude, Act, dan Act Again), sekarang menjadi 5A (Aware, Appeal, Ask, Act, dan Advocate). Perubahan tersebut terjadi karena konsumen masa kini sudah tidak bisa fokus terhadap dirinya sendiri. Sehingga, pembelian pun bukan semata-mata adalah kehendak pribadi, melainkan menjelma sebagai keputusan bersama. (Marketeers edisi Februari 2015, hal 12).

Chief Knowledge MarkPlus, Inc. Iwan Setiawan dalam (Marketeers edisi Februari 2015, hal 12) mengatakan, salah satu faktor yang menyebabkan perubahan tersebut adalah fenomena internet dan gadget yang telah memengaruhi kehidupan banyak orang. Iwan menyebutkan bahwa seseorang membuka kunci layar ponselnya setiap dua menit. Hal itu membuktikan, kehadiran gadget dapat membuat seseorang menjadi tidak fokus. Kondisi demikian menjadikan pola customer path berubah menjadi 5A, bisa dikatakan Aware, Appeal, Ask merupakan input, sedangkan Act dan Advocate adalah output dari suatu proses operasional pemasaran.

Menurut Sapta Nirwandar, hal utama yang harus dilakukan oleh para pemain industri halal tourism adalah membuat penawaran dan pilihan. Untuk travel agent, sediakan guide yang memahami tujuan dari wisata halal, interpretasi dari destinasi-destinasinya, yang dapat memperkaya pembelajaran. Fasilitas harus semakin serius diusahakan. “Kalau takut dengan tidak adanya pasar, penerapan halal tourism ini justru menguntungkan. Banyak sekali orang yang mencari dan menjadi pasar yang menjanjikan karena ada segmennya sendiri. Ironis sekali melihat masyarakat Indonesia tidak confidence dengan wisata halal. Masyarakat harus memiliki persepsi positif. Ini tidak terbatas hanya untuk umat Muslim melainkan sifatnya universal,” kata Sapta. (Marketeers edisi Juni 2015, hal 150).

Apabila Indonesia sudah optimal memanfaatkan strategi digital marketing communication dalam membangun dan memperkuat brand halal touris, hal ini akan sangat menguntungkan sebab dapat memperluas pasar industri pariwisata di Indonesia. Segmentasi khusus untuk pasar halal tourism yaitu Muslim traveler yang tersebar di berbagai negara di penjuru dunia. Setidaknya ada 1,6 miliar Muslim di dunia dengan potensi US$ 140 miliar. Jika Indonesia sukses membangun dan mengembangkan brand halal tourism, tentunya akan memberikan efek positif untuk devisa negara dari sektor pariwisata.

Menurut hemat penulis, strategi digital marketing communication sangatlah tepat apabila ingin mempromosikan brand halal tourism di kancah dunia. Hal ini juga sejalan dengan misi pemerintah melalui Kemenpar RI untuk meningkatkan promosi pariwisata dalam meraup wisatawan sebanyak-banyaknya, terutama kalangan wisata mancanegara pada tahun 2015 adalah e-tourism. Langkah ini terbilang berani dan efektif terutama pada era teknologi seperti ini.

Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan sarana digital menjadi sarana promosi yang baik. Secara biaya tentu jauh lebih murah apabila dibandingkan promosi dengan cara konvensional. E-tourism ini tidak hanya sekadar jargon atau angan-angan saja. Kemenpar sudah mempersiapkan beberapa aktivitas. Setidaknya sudah ada tujuh layanan berbasis teknologi yang berkaitan dengan promosi wisata secara digital. Di antaranya, Portal Pariwisata yang terintegarasi (hi-indonesia.com), Wonderful TV (WOI TV), mobile application (Hi Bali), Digital Photo Bank, Sinema Online, dan Sinema Digital, www.indonesafilm.net, dan apresiasi terhadap para travel blogger 2015. (Majalah Marketeers edisi April 2015, hal 58).

Referensi:

Achyar, Mahfud. (2014). Strategi Digital Marketing Communcation EIGER. Jakarta: Paramadina Graduate School.

Bachdar, Saviq. (2015). Menjadi Brand yang Diadvokasi. Jakarta: Majalah Marketeers Edisi Februari.

Chaffey, Dave. (2015). Difinitions of E-Marketing Versus Internet Vs Digital Marketing. [Online] visit site: http://www.smartinsights.com/digital-marketing-strategy/online-marketing-mix/definitions-of-emarketing-vs-internet-vs-digital-marketing/ (diakses pada tanggal 24 Juni 2015).

Nirwandar, Sapta. (2015). Halal Tourism, Kenapa Kita Harus Takut? Jakarta: Majalah Marketeers Edisi Juni.

Triwijanarko, Ramadhan (2015). Andalkan Strategi Digital dan Pesona Indonesia, Kemenpar Kerek Jumlah Wisman. Jakarta: Majalah Marketeers Edisi April.

Wijayani, Septi. (2015). Tingkatkan Pasar Produk Halal dengan Halal Supply Chain Management. Jakarta: Majalah Marketeers Edisi April.

_________. (2014). Pemasaran Digital. [Online] visit site:

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemasaran_digital (diakses pada tanggal 24 Juni 2015).

Islamic Philanthropy Sebagai Upaya Mewujudkan Masyarakat Indonesia yang Madani

Oleh: Mahfud Achyar

Map of Indonesia (Source: http://www.warscapes.com/)
Map of Indonesia
(Source: http://www.warscapes.com/)

Tahun 2015, tepat Indonesia memasuki usia ke-70 tahun sejak merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Setiap tahunnya, masyarakat Indonesia senantiasa merayakan kemerdekaan Indonesia dengan berbagai ragam kegiatan: upacara kenegaraan, perlombaan-perlombaan, dan sebagainya. Namun, momentum kemerdekaan Indonesia terkesan sebatas euforia semata. Jarang sekali momentum kemerdekaan digunakan untuk kita merenung, berkontemplasi, dan gelisah memikirkan usia bangsa yang sudah taklagi belia.

Angka 70 tahun semestinya menjadi momentum bagi Indonesia untuk memasuki fase yang jauh lebih matang, jauh lebih baik, dan jauh lebih sejahtera. Namun nyatanya semangat kemerdekaan Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial takkunjung mendekati kesempurnaan.

Indonesia, negeri yang subur dan indah ini nyatanya menyimpan begitu banyak persoalan yang seolah takhenti-hentinya datang silih berganti. Persoalan datang dari berbagai sektor; mulai dari aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, budaya, sosial, dan teknologi. Kondisi demikian membuat Indonesia semakin terkucil di mata dunia dan semakin tertinggal dibandingkan negara-negara sahabat seperti Singapura dan Malaysia.

Mari sejenak kita melihat perkembangan salah satu negara sahabat kita yaitu Singapura. Pada tanggal 23 Maret 2015 lalu, mantan Perdana Menteri Singapura, Lee Kuan Yew meninggal karena penyakit radang paru-paru. Meninggalnya bapak Singapura modern tersebut mengundang tangis dari 5 juta warga Singapura. Betapa tidak, Lee merupakan tokoh yang sangat berjasa bagi kemajuan Singapura. Ada salah satu ungkapan Lee yang barangkali akan selalu diingat oleh masyarakat Singapura. Ia berkata, “I don’t believe Singapore can produce two top class teams. We haven’t got the talent to produce two top class teams. We will wait and see how constructive the opposition can be, or will be.”

Sejak merdeka pada tanggal 9 Agustus 1965 (10 tahun setelah Indonesia merdeka), Singapura di bawah kepemimpinan Lee berkembang menjadi negara yang memiliki peran penting dalam perdagangan dan keuangan internasional. Singapura kian bersinar di antara negara-negara di kawasan Asia Tenggara bahkan sinarnya mampu menyaingi negara-negara yang dulu diklam sebagai negara maju.

Economist Intelligence Unit (EIU), lembaga kajian independen di bawah pengelolaan majalah The Economist melansir survei mengenai “Indeks Kualitas Hidup” yang menempatkan Singapura pada peringkat satu kualitas hidup terbaik di Asia dan kesebelas di dunia. Singapura juga dinobatkan sebagai negara yang memiliki cadangan devisa terbesar kesembilan di dunia. Tidak hanya sampai di situ, Singapura juga memiliki angkatan bersenjata yang maju dan juga berhasil menjadi negara meritokrasi, bebas korupsi, dan nyaman ditinggali untuk semua ras.

Keberhasilan Lee dalam memajukan Singapura dari negara miskin menjadi negara yang maju sudah sepatutnya menjadi pemantik semangat bagi Indonesia. Sayangnya, kerap kali banyak masyarakat Indonesia yang sinis menilai keberhasilan Singapura. Mereka menilai Indonesia dan Singapura tidak bisa dibandingkan secara apple to apple (komparasi yang seimbang dan cocok). Hal ini lantaran luas wilayah Singapura jauh lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia. Selain itu, permasalahan di Singapura tidak serumit permasalahan di Indonesia. Barangkali pendapat itu benar adanya. Namun, apakah argumen tersebut menjadi pledoi atau excuse bagi bangsa Indonesia sehingga terus terjebak pada kondisi yang stagnan atau bahkan menjadi jauh lebih buruk?

Potret Permasalahan di Bumi Pertiwi

Empowerment (Source: PKPU)
Empowerment (Source: PKPU)

Sebagai manusia yang lahir, besar, dan hidup di Indonesia tentu kita memahami dengan baik bahwa negara yang saat ini dipimpin oleh presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, tengah menghadapi berbagai persoalan yang pelik. Berdasarkan hasil survei dari salah satu televisi swasta nasional, setidaknya ada 10 masalah terbesar yang dihadapi Indonesia, yaitu (1) persoalan kestabilan ekonomi, (2) korupsi, (3) kemiskinan, (4) pengelolaan BBM, (5) sistem pendidikan, (6) pengangguran, (7) tingginya harga pangan, (8) bencana alam, (9) kelaparan dan krisis pangan, dan (10) krisis kepemimpinan.

Sebagai gambaran, barangkali kita bisa telisik lebih dalam persoalan pada sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Untuk masalah di sektor pendidikan, berdasarkan laporan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2010, tercatat 1,3 juta anak usia 7-15 tahun di Indonesia terancam putus sekolah. Tingginya angka putus sekolah disebabkan salah salah satunya karena mahalnya biaya pendidikan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan, seperti yang dilansir pada laman okezone.com, mengatakan pihaknya menginginkan dukungan terhadap para pelajar yang berpotensi putus sekolah lebih diintensifkan. Lebih lanjut, Anies menilai bahwa konsekuensi dari putus sekolah berimplikasi dalam aspek kesejahteraan dan permasalahan sosial lainnya.

Selanjutnya, permasalahan pada sektor kesehatan menurut guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, DrPH, seperti yang dilansir pada laman liputan6.com, yaitu mengenai program JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) yang kurang dikelola dengan baik. Dampaknya, bila tidak diantisipasi akan menyebabkan goncangan, keluhan, eksploitasi ketidakpuasan, campur aduk politik, dan teknis kesehatan.

Sebetulnya, JKN merupakan itikad baik dari pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan seluas-luasnya bagi masyarakat. Namun permasalahan yang timbul saat ini minimnya penyediaan layanan kesehatan yang mumpuni. Fasilitas layanan kesehatan di Indonesia tidak merata dan masih terkesan terfragmentasi. Pemerintah dinilai tidak serius menangani permasalahan rasio tenaga kesehatan dan penduduk, fasilitas layanan kesehatan yang belum terstandar, dan sistem rujukan layanan kesehatan yang masih semrawut.

Sementara itu, permasalahan lain datang dari sektor perekonomian. Menteri Ketenagakerjaaan, M. Hanif Dhakiri, seperti yang dilansir laman kontan.co.id, mengatakan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2014, jumlah penggangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,24 juta orang. Angka tersebut naik dibandingkan dengan data pada Februari 2014 yang berada pada angka 7,15 juta orang. Menurut Hanif, tingginya angka pengangguran di Indonesia disebabkan krisis ekonomi global dan terjadinya bonus demografi di Indonesia.

Jika menengok ke negara tetangga seperti Thailand, tingkat pengangguran di negeri Gajah Putih tersebut hanya berkisar 0,56 persen. Bloomberg melansir bahwa Thailand merupakan negara yang memiliki tingkat pengangguran terendah di dunia. Sebetulnya, pemerintah sudah berupaya menekan jumlah penggangguran di Indonesia hingga minimal mencapai angka 5,6 persen.

Dalam cakupan yang lebih makro, kondisi perekonomian di Indonesia terus menghadapi persoalan yang berat. Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Hendar mengungkapkan bahwa perekonomian dalam negeri akan dibayang-bayangi sentimen dari eksternal maupun internal. Resiko yang harus diwaspadai oleh Indonesia antara lain: kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika The Fed, semakin melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika, peningkatan utang luar negeri, dan resiko peningkatan tekanan inflasi karena kenaikan LPG (Liquified Petroleum Gas) dan TTL (Tarif Tenaga Listrik).

Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengamankan kondisi perekonomian di Indonesia yaitu menaikan harga BBM bersubsidi. Namun, kebijakan yang diambil pemerintah tersebut dianggap tidak pro terhadap masyarakat. Apalagi pada tahun 2015 ini, pemerintah seolah galau dalam mengambil kebijakan bila harga minyak dunia naik.

Tercatat selama bulan Maret 2015, setidaknya pemerintah sudah dua kali menaikan harga BBM, khususnya jenis premium dan solar. Dampak dari naiknya BBM bersubsidi membuat harga bahan pokok melonjak, harga tarif angkutan umum naik, dan harga kebutuhan lainnya pun juga turut merangkak naik. Kondisi demikian menyebabkan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat kurang mampu semakin erat mengencangkan ikat pinggang. Lantas kapan masyarakat Indonesia dapat sejahtera dan hidup nyaman?

Berbagai upaya tentu sudah ditempuh pemerintah untuk mewujudkan Indonesia sebagai bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri. Namun nyatanya, berbagai kajian yang dilahirkan oleh berbagai pakar yang mumpuni di bidangnya sangat sulit diimplementasikan. Banyak sekali faktor penghambat yang membuat Indonesia seolah sulit untuk menjadi negara yang seperti diamanahkan dalam Undang-undang Dasar (UUD) 1945.

Islamic Philanthropy Sebagai Solusi

Kendati Indonesia berada pada persimpangan jalan yang memprihatinkan, namun sudah selayaknya kita mengangkat kepala dan bertekad penuh bahwa kita dapat mengubah Indonesia menjadi lebih baik lagi. Pemerintah jelas tidak akan sanggup untuk mengatasi berbagai persoalan yang mendera bumi pertiwi. Untuk itu, partisipasi dari berbagai pihak merupakan nadi yang terus membuat Indonesia tetap hidup dan mampu memastikan bahwa setiap bayi yang lahir akan merasa bangga dan nyaman menjadi orang yang memiliki darah Indonesia.

Mengutip ungkapan salah satu pidato Presiden Sukarno, “Apabila di dalam diri seseorang masih ada rasa malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan, maka jaminan bagi orang tersebut adalah tidak akan bertemunya ia dengan kemajuan selangkah pun.”

Salah satu upaya yang dapat membantu akselerasi pembangunan bangsa dari berbagai aspek yaitu peran dari Islamic Philanthropy. Indonesia, sebagai mana kita ketahui adalah negara dengan jumlah pemeluk agama Islam terbanyak di dunia.

Hal tersebut dapat diketahui dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pew Research Center, yaitu lembaga riset yang berkedudukan Washington DC, Amerika Serikat yang bergerak pada penelitian demografi, analisis isi media, dan penelitian ilmu sosial. Pada tanggal 18 Desember 2012, Pew Research Center mempublikasikan risetnya tentang “The Global Religious Landscape” tentang penyebaran agama di seluruh dunia dengan cakupan lebih dari 230 negara.

Riset tersebut memaparkan total jumlah penduduk Muslim yang tersebar di berbagai negara yaitu sebanyak 1,6 miliar atau sekitar 23,2% dari total jumlah penduduk dunia. Indonesia merupakan negara sebagai peringkat pertama sebagai penganut agama Islam terbesar dengan total 209.120.000 jiwa (87,2%) dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 237.641.326 jiwa. Data tersebut juga diperkuat dari sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010.

Islam sebagai agama rahmatan lil’alamin, agama rahmat bagi semua manusia. Artinya, Islam hadir bukannya hanya untuk Muslim, namun juga untuk non-Muslim (Ahli Dzimmah). Mereka mendapatkan hak yang sama dengan kaum Muslimin, kecuali beberapa perkara yang terbatas. Misalnya memeroleh perlindungan dari marabahaya yang datang dari eksternal. Hal tersebut senada dengan hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan Al-Baihaqi, “Siapa-siapa yang menzhalimi kafir mu’ahad atau mengurangi haknya, atau membebaninya di luar kesanggupannya, atau mengambil sesuatu daripadanya tanpa kerelaannya, maka akulah yang menjadi seterunya pada hari kiamat.”

Agama Islam menjadi dan melindungi non-Muslim; darah dan badan mereka, melindungi harta mereka, menjaga kehormatan mereka, memberikan jaminan sosial ketika dalam keadaan lemah, kebebasan beragama, kebebasan bekerja, berusaha dan menjadi pejabat. Demikianlah betapa santun dan mulianya Islam memperlakukan manusia sebagai makhluk sosial. Artinya, Islam sangat concern menanamkan nilai sosial dalam setiap jiwa pemeluknya.

Lantas apa yang dimaksud dengan nilai sosial? Menurut Clyde Kluckhohn dalam bukunya yang berjudul “Culture and Behavior”, ia mengatakan bahwa nilai sosial adalah sesuatu yang diusahakan sebagai hal yang pantas dan benar bagi diri sendiri maupun orang lain.

Dalam pandangan Islam, nilai-nilai sosial yaitu berperilaku baik kepada sesama, dalam artian membantu orang yang sedang kesusahan. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an AlMaidah ayat 2 yang berbunyi, “…..Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Nilai sosial dalam Islam dapat diwujudkan melalui aktifitas Islamic Philanthropy yang memiliki jangkauan kebermanfaatan yang jauh lebih luas. Istilah filantropi sendiri berasalah dari bahasa Yunani yaitu philein yang berarti cinta dan anthropos yang berarti manusia. Secara sederhana, filantropi adalah tindakan seseorang yang mencintai sesama manusia sehingga bersedia menyumbangkan waktu, uang, dan tenaganya untuk menolong orang lain.

Dalam konteks kehidupan manusia modern, filantropi dikategorikan sebagai sektor ketiga setelah sektor negara (state) dan pasar (market). Ketiga sektor tersebut memiliki peran yang berbeda-beda dalam menyokong cita-cita suatu negara.

Istilah filantropi juga dipahami masyarakat sebagai organisasi non-profit dengan tujuan-tujuan mulia seperti mencintai (sesama umat manusia) dengan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan dan menaruh perhatian terhadap orang lain atau kemanusiaan. Tujuan dari aktifitas filantropi setidaknya terdiri dari empat spektrum pendekatan, yaitu (1) pendekatan kesejahteraan (welfare), (2) pendekatan pembangunan (developmentalis), (3) pendekatan pemberdayaan (empowerment), dan (4) pendekatan transformatif (transformasi sosial).

Dunia filantropi di Indonesia berkembang pesat pascareformasi. Selanjutnya, organisasi filantropi semakin diramaikan dengan kehadiran organisasi filantropi yang berbasis keagamaan, salah satunya kehadiran Islamic Philanthropy yang mulai concern pada pengelolaan dana zakat sebesar Rp 1,73 triliun pada tahun 2012.

Islamic Philanthropy dan Masyarakat Madani

Menyoal keberhasilan Islamic Philanthropy dalam mewujudkan masyarakat madani, barangkali kita dapat memetik hikmah dan pembelajaran dari kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Beliau dikenal sebagai khalifah pada penghujung abad pertama hijriyah yang sangat dicintai fakir miskin, anak yatim, janda-janda tua, dan semua lapisan masyarakat.

Menurut catatan sejarah, Umar bin Abdul Aziz lahir di kampung Hulwan, Mesir, pada tahun 63 Hijriah/681 Masehi. Ayahnya, Abdul Aziz bin Marwan, menjabat gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul Malik. Ibunya, Ummu Asim Laila binti Asim, merupakan cucu Khalifah Umar bin Khattab. Umar diangkat menjadi Gubernur Madinah dalam usia 24 tahun. Di bawah kepemimpinan Umar, masyarakat Madinah hidup lebih sejahtera dan lebih tentram dibandingkan era sebelumnya.

Selanjutnya, pada usia 36 tahun, Umar dinobatkan sebagai khalifah di hadapan kaum muslimin yang sedang berkumpul di masjid. Menjadi seorang khalifah tidak membuat Umar berbangga diri. Ia justru menangis khawatir ia tidak dapat menjadi pemimpin yang baik. Bagi Umar sendiri, amanah merupakan tanggung jawab yang akan ditanya oleh Allah di akhirat kelak.

Selama menjadi khalifah, Umar berupaya keras untuk untuk menyejahterakan rakyatnya. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Umar yaitu dengan mengotimalkan pengelolaan dana zakat yang diterima dari muzakki (orang yang wajib zakat) untuk disalurkan kepada mustahik (orang yang menerima zakat). Prinsip zakat haruslah memiliki dampak pemberdayaan kepada masyarakat yang berdaya beli rendah sehingga mendorong meningkatnya suplai.

Pada masanya, Umar berhasil menjalankan aktifitas Islamic Philanthropy dengan sangat baik. Bahkan, jumlah muzakki terus meningkat sementara jumlah mustahik terus berkurang. Ibnu Abdil Hakam (dalam Lukman Hakim Zuhdi: 2010) menceritakan seorang petugas zakat bernama Yahya bin Said pernah diutus Umar untuk memungut zakat ke Afrika. Setelah memungut, Yahya bermaksud memberikan kepada orang-orang miskin dan mustahik lainnya. Namun, setelah berkeliling ke seantero negeri, Yahya tidak menjumpai satu mustahik pun karena Umar telah menjadikan semua rakyatnya hidup berkecukupan.

Bukti lain yang menguatkan bahwa Islamic Philanthropy dapat membantu mewujudkan masyarakat madani datang dari Bangladesh. Adalah Muhammad Yunus yang lahir di Chittagong, East Bengkal, kini Bangladesh pada tanggal 28 Juni 1950. Muhammad Yunus mulai menekuni bidang social entrepreneur sejak tahun 1974 dengan mengembangkan konsep kredit mikro. Program tersebut berupa pengembangan pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin yang tidak mampu meminjam uang dari bank umum. Ia menamakan program tersebut dengan sebutan Grameen Bank.

Misi Muhammad Yunus melalui Grameen Bank adalah untuk mengentaskan permasalahan kemiskinan di negaranya. Hasilnya, pada tahun 2006, ia menerima penghargaan nobel perdamaian berkat usahanya dalam memenangkan perperangan melawan kemiskinan. Program Grameen Bank berhasil membantu sekitar 47 ribu lebih pengemis di Bangladesh. Mereka tidak lagi berprofesi menjadi peminta-minta, namun telah berhasil menjadi pengusaha yang mandiri.

Di Indonesia sendiri, perkembangan Islamic Philanthropy menurut Dr. Amelia Fauzia dalam bukunya yang berjudul “Faith and the State: A History of Islamic Philanthropy” dalam Azyumardi Azra (Republika Online, 16 Mei 2013), sudah ada sejak awal Islamisasi Nusantara pada abad ke-13, melintasi masa kerajaan-kesultanan Islam, penjajahan Belanda, dan masa pascakemerdekaan, termasuk masa kontemporer.

Islamic Philanthropy di Indonesia dalam bentuk ziswaf (zakat, infak, sedekah, wakaf) memiliki potensi yang sangat besar. Berbagai kalangan memperkirakan potensi ziswaf Indonesia mencapai sekitar Rp 217 triliun setiap tahun. Namun, serapan dana ziswaf yang dikumpulkan oleh Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) baru berkisar pada angka 2,7 triliun. Artinya potensi ziswaf di Indonesia masih sangat besar. Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi OPZ untuk terus berupaya memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai kesadaran menunaikan ziswaf dan juga menyalurkan dana ziswaf untuk program-program yang mendorong kemandirian masyarakat.

Kehadiran Islamic Philanthropy diharapkan menawarkan solusi-solusi dari berbagai permasalahan yang melanda negeri ini. Sebab, pemerintah akan kesulitan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada. Apalagi Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk 252.370.792 jiwa yang tersebar dari Sabang hingga Mereuke, dari Natuna hingga Rote. Namun bukan berarti peran dari Islamic Philanthropy menjadi saingan pemerintah dalam mengentaskan persoalan bangsa. Melainkan sebagai mitra pemerintah dalam melayani seluruh masyarakat dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan sosial.

Beberapa lembaga Islamic Philanthropy yang ada di Indonesia, di antaranya yaitu Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, LazizNU, LazisMU, Dewan Da’wah Infaq Club, BSMI, dan PKPU. Lembaga-lembaga tersebut bergerak dalam aktifitas kemanusiaan dengan cakupan sektor yang lebih luas, baik sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial, dan kebencanaan.

Akan tetapi, keberadaan lembaga-lembaga Islamic Philanthropy tersebut rasanya belum memberikan perubahan yang signifikan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang madani. Hal ini lantaran setiap lembaga terlalu luas cakupan programnya sehingga tidak fokus untuk menyelesaikan permasalahan tertentu. Selain itu, lembaga-lembaga tersebut kurang bersinergis untuk mencari solusi bersama dalam upaya membantu pemerintah.

Barangkali pemerintah dapat menggandeng lembaga-lembaga Islamic Philanthropy untuk membahas blue print mengenai pencapaian jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang yang dapat dikolaborasikan secara bersama. Hal ini penting mengingat social movement tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri melainkan butuh kolaborasi dari berbagai pihak.

Selain kolaborasi dan sinergis untuk perubahan, lembaga-lembaga Islamic Philanthropy juga harus memiliki indikator yang terukur dalam menjalankan program-program kemanusiaan. Salah satu indikatornya adalah mengenai Quality of Live (QoL) para penerima manfaat program.

QoL didefinisikan sebagai tingkat kepuasan masyarakat terhadap kesejahteraan hidupnya sehingga tercipta suatu kebahagiaan hidup yang dibagi menjadi tiga aspek, yaitu fisik, psikologis, dan sosial. Selama ini pengukuran program kemanusiaan hanya dilihat dari segi kuantitas. Dengan QoL diharapkan organisasi-organisasi Islamic Philanthropy dapat mengukur kualitas program, sejauh mana program dapat meningkat kualitas hidup masyarakat yang berdampak pada outcome dan impact.

Dalam meningkatkan Quality of Life (QoL), saat ini lebih banyak indikator positif, seperti: kenyamanan, keamanan, dan lain sebagainya. Namun, semua QoL berujung pada apa yang benarbenar dibutuhkan oleh masyarakat. Setiap anggota masyarakat punya kemampuan berdasarkan potensi dan sumber daya yang ada. Bisa juga dilihat dari kemampuan outreach, influence, networking semakin penting untuk keperluan community capacity building.

Quality of Life
Quality of Life

Gambar 1.
Teori Hirarki Kebutuhan Manusia, Maslow.
(Teori Maslow ini dimodifikasi menjadi QoL Individu)

Kehadiran Islamic Philanthropy menjadi harapan bagi Indonesia dalam mewujudkan masyarakat madani. Jika menelisik referensi, masyarakat madani adalah suatu masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani, dan memaknai kehidupannya. Masyarakat madani menurut Anwar Ibrahim merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat.

Istilah masyarakat madani terinspirasi dari masyarakat Madinah yang dikenal memiliki tabiat yang baik; taat dan sadar hukum, kebersamaa, kemakmuran ekonomi, demokratis, cerdas, dan kritis. Semua itu tidak lepas dari keberhasilan nabi Muhammad saw yang memimpin masyarakat Madinah dari zaman kegelapan menuju zaman yang penuh ilmu pengetahuan.

Terakhir, mengutip kata bijak dari Eleanor Roosevelt, “I am who I am today because of the choices I made yesterday.” Salam perubahan!


Daftar Pustaka
Adzim Abdul. 2013. Madinah: Profil Masyarakat Madani. [Online]. Available at: http://sejarah.kompasiana.com/2013/04/09/madiniah-profil-masyarakat-madani-549813.html. (diakses pada tanggal 20 April 2015).

Center, Pew Reseacrh. 2012. The Global Religious Landscape [Online]. Available at: http://www.pewforum.org/2012/12/18/global-religious-landscape-exec/ (diakses pada tanggal 24 Februari 2015).

Harahap, Rachmad Faisal. 2015. Prioritas Kemendikbud Tekan Jumlah Anak Putus Sekolah. [Online]. Available at: http://news.okezone.com/read/2015/01/27/65/1098074/prioritas-kemendikbud-tekan-jumlah-anak-putus-sekolah (diakses pada tanggal 20 April 2015).

Syarifah Fitri. 2014. 6 Masalah Kesehatan yang Jadi ‘PR’ pada 2014. [Online]. Available at: http://health.liputan6.com/read/785102/6-masalah-kesehatan-yang-jadi-pr-pada-2014 (diakses pada tanggal 20 April 2015).

Yudha, Satria Kartika. 2015. Pemerintah Targetkan Tingkat Pengangguran 5,6 Persen. [Online]. Available at: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/02/03/nj74ul-pemerintah-targetkan-tingkat-pengangguran-56-persen (diakses pada tanggal 20 April 2015).

Ariyanti, Fikri. 2015. BBM Naik Dua Kali, RI Sulit Deflasi di Maret Ini. [Online]. Available at: http://bisnis.liputan6.com/read/2202729/bbm-naik-dua-kali-ri-sulit-deflasi-di-maret-ini (diakses pada tanggal 20 April 2015).

Dee. 2014. 2015 Ekonomi RI Bakal Hadapi Tantangan Berat. Available at: http://www.jpnn.com/read/2014/12/05/273767/2015-Ekonomi-RI-Bakal-Hadapi-Tantangan-Berat (diakses pada tanggal 20 April 2015).

Syairuddin, Ricki Valdy. 2012. Islam Sebagai Agama Rahmatan Lil’alamin. Available at: http://tazkiyah-tazkiyah.blogspot.com/2012/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar_24.html (diakses pada tanggal 20 April 2015).

______. Pengertian Nilai Sosial Menurut Para Ahli. Available at: http://ssbelajar.blogspot.com/2013/04/pengertian-nilai-sosial.html (diakses pada tanggal 20 April 2015).

Zuhdi, Lukman Hakim. 2010. Umar bin Abdul Aziz, Potret Pemimpin Penyayang Kaum Dhuafa. Available at: https://komunitasamam.wordpress.com/2010/11/30/umar-bin-abdul-aziz-potret-pemimpin-penyayang-kaum-dhuafa/ (diakses pada tanggal 20 April 2015).

Ariefyanto, M. Irwan. 2013. Negara dan Filantropi Islam. Available at: http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/13/05/15/mmuiqm-negara-dan-filantropi-islam (diakses pada tanggal 20 April 2015).
Muzakki, Khoirul. 2014. Potensi Filantropi Terhambat Regulasi. Available at: http://www.koran-sindo.com/read/932949/149/potensi-filantropi-terhambat-regulasi-1417674803 (diakses pada tanggal 20 April 2015).

PKPU. 2013. Draft Quality of Life. Jakarta: Lembaga Kemanusiaan Nasional.

Resep Sukses Ala Chef ‘Abuba’

Photo Taken By: Luddy Prasetyo
Photo Taken By: Luddy Prasetyo

Belakangan ini, profesi chef atau juru masak kian digandrungi oleh banyak masyarakat Indonesia. Apalagi, banyak stasiun televisi swasta yang juga turut mempromosikan profesi chef melalui program pencarian bakat untuk mencari master chef yang handal dan profesional. Biasanya, ketika anak-anak Indonesia ditanya mengenai cita-cita, banyak di antara mereka yang berkeinginan menjadi seorang guru, pilot, polisi, astronom, dan sebagainya. Namun kini, cita-cita menjadi seorang chef menjadi salah satu pilihan utama. Betapa tidak, seorang chef dinilai piawai dalam meracik bumbu makanan, mengolah makanan, dan menyajikan makanan yang mengundang selera. Apalagi bisnis food and beverage terus berkembang dan dicari oleh banyak orang guna memanjakan lidah dalam berburu rasa.

Menjadi seorang chef sekaligus entrepreneur secara bersamaan tentu tidaklah mudah. Barangkali, itulah yang dialami oleh Abu Bakar saat pertama kali memiliki ide untuk mengembangkan bisnis kuliner khususnya makanan steak di Jakarta. Sebagaimana kita tahu, steak merupakan jenis makanan western berupa potongan daging yang dipanggang atau digoreng. Biasanya steak dapat nikmati di hotel-hotel berbintang atau restoran-restoran mewah. Namun Abu, begitu ia akrap disapa, berpikir bahwa steak seharusnya dapat dinikmati oleh banyak orang dengan harga yang terjangkau tanpa mengabaikan kualitas dari steak itu sendiri.

Bagi Anda penikmat steak di Jakarta tentu sudah tidak asing lagi mendengar nama restoran Abuba Steak. Restoran ini pertama kali dibuka di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Kini, Abuba Steak semakin berkembang sehingga berhasil membuka 14 cabang outlet di berbagai kota khususnya di Jakarta, Tangerang, Bekasi, Bandung, dan Bogor. Menjadi sukses seperti sekarang tentu tidaklah mudah. Butuh proses yang panjang, kesabaran, dan pembelajaran yang takpernah henti-hentinya.

Lantas bagaimana resep sukses Abuba Steak sehingga bisa seperti sekarang? Tim redaksi HI News berkesempatan untuk mewawancarai putra tunggal pemilik Abuba Steak, yaitu Muhammad Ali Ariansyah di bilangan Cipete, Jakarta Selatan pada hari Rabu, (15/04/2015).

Ali mengatakan untuk menjadi sekarang memang butuh proses yang takmudah. Ia menceritakan bahwa ayahnya merupakan seorang anak yang lahir dari keluarga yang sederhana. Ayahnya bahkan tidak memiliki bekal pendidikan formal yang mumpuni. Ia putus sekolah sejak duduk di bangku SD kelas 5 lantaran ayahnya menderita sakit dan akhirnya meninggal. Pada usia 13 tahun, Abu merantau ke Jakarta dengan harapan dapat memperbaiki kondisi perekonomian keluarganya. Awal-awal hidup di Jakarta merupakan kondisi yang sulit bagi Abu. Ia bekerja serabutan seperti menjadi kuli batu dan buruh.

Menjelang dewasa, tepatnya saat usianya ke-17 tahun, pria kelahiran Cirebon tersebut mendapatkan kesempatan untuk bekerja di sebuah restoran di Kemang, Jakarta Selatan sebagai tukang cuci piring. Selanjutnya, ia pun dipercaya menjadi juru masak di berbagai restoran dan hotel terkemuka di Jakarta. Selama bergulat di dapur, Abu belajar banyak hal tentang berbagai menu masakan, baik lokal maupun western. Bekal ilmu yang ia dapat akhirnya memantapkan Abu untuk membuka restoran sendiri.

Menurut penuturan Ali, Abuba Steak yang berdiri sejak tahun 1992 bermula dari warung tenda di daerah Cipete, Jakarta Selatan. “Jika boleh cerita, Abuba Steak sendiri berawal dari ketidaksengajaan. Mengapa? Sebab saat itu ayah saya sedang menganggur cukup lama sekitar enam bulan. Kesulitan ekonomi terus menghimpit keluarga kami. Akhirnya ayah saya memutuskan untuk membuka usaha kuliner. Kami menjual beberapa macam menu makanan. Namun dari sekian banyak menu, steak menjadi menu favorit pelanggan kami. Dengan background dan experience sebagai chef yang dimilih ayah saya selama 25 tahun, ayah saya kemudian memutuskan untuk menjual steak,” jelas Ali.

Doa, kerja keras, dan semangat pantang menyerah merupakan kunci keberhasilan Abuba Steak. “Saya masih ingat dulu kita jualan di depan toko orang pada malam hari. Modal kami saat itu hanya 3 juta. Itu pun hasil tabungan sendiri dan pinjaman dari sahabat dan sanak saudara. Kemudian kami pun pindah ke salah satu gang di Kemang. Seiring berjalannya waktu, alhamdulillah akhirnya kami memiliki modal yang cukup sehingga bisa menyewa tempat di Jalan Raya Cipete, No. 6 Jakarta Selatan. Tahun 2008, kami pindah lagi ke daerah yang cukup strategis dan memiliki tempat parkir yang memadai di Jalan Raya Cipete No. 14-A hingga sekarang,” kenang Ali.

Pada tahun 2004, Ali diberi kepercayaan oleh ayahnya untuk mengelola Abuba Steak. Saat itu ia baru selesai mengenyam pendidikan di Switzerland, mengambil program studi Hospitality (Perhotelan). “Kebetulan saya adalah anak satu-satunya. Saya ingin perusahaan ini dapat berkembang, semakin memberikan manfaat untuk orang banyak, dan lebih baik lagi,” ungkap Ali.

Dengan kepemimpinannya, Ali berharap stake holder dari Abuba Steak mendapatkan manfaat; customer yang mendapatkan produk yang lebih baik, tempat yang lebih nyaman dan representatif; dan karyawan Abuba Steak yang sudah mencapai 600 orang juga harus menerima hak mereka dengan baik dan layak.

Menghadapi persaingan, Abuba Steak optimis untuk terus berkembang. “Saya terus berusaha agar usaha ini bisa terus bertumbuh dan berkembang. Saya juga berharap Abuba Steak mampu bersaing dengan usaha-usaha lain, baik kompetitor yang baru bermunculan atau pun brand-brand yang datang dari luar,” jelas Ali dengan penuh keyakinan.

Ditanya mengenai makna berbagi, Ali menyatakan bahwa dengan berbagi usaha kita akan berkah. Hal itulah yang diajarkan oleh kedua orang tua saya. Sebab rezeki yang diterima dari Allah harus dibagi. Insya Allah lebih berkah. [Destie Mulyaningsih/Mahfud Achyar]

 

Bejo Juga Ingin Pintar Seperti Mereka!

1

Bekasi, 12 Juni 2012

SIANG itu, matahari merangkak naik tepat di atas ubun-ubun kepala. Seorang anak kecil mendongakkan kepalanya ke atas. Matanya pun menyipit karena cahaya mentari siang itu terlalu menyilaukan pandangannya. Sesekali, ia mengelap keringat di dahinya. Takjarang tetesan keringat mengucur jatuh di sudut kiri wajahnya. Kemudian, ia pun berjalan dengan ritme langkah yang cepat menuju sebuah bangunan yang berdiri kokoh. Anak laki-laki itu beristirahat dengan menyandarkan tubuhnya pada sebuah tiang di pelataran teras gedung yang dicat berwarna putih. Ia beristirahat tidak lama. Hanya sekitar 15 menit. Tepat pukul 13.00 WIB, ia harus menjajakan dagangannya kepada para mahasiswa yang baru selesai perkuliahan. Baginya, waktu singkat ketika jam istirahat sangatlah penting. Ia sangat berharap kripik dagangannya laku terjual. Tapi kadang, apa yang ia harapkan tidak sesuai dengan kenyataannya. Dagangannya tidak melulu laku. Ada masa ia harus menelan kecewa karena kripik dagangannya hanya terjual beberapa bungkus saja. Bocah lelaki itu pun pulang dengan sedikit perasaan bersalah. Ia khawatir ibunya di rumah kecewa karena dagangannya tidak laku terjual.

Anak laki-laki itu bernama Bejo. Ia masih duduk di bangku kelas 5 SD. Umur Bejo 10 tahun. Setiap harinya, selepas pulang sekolah, Bejo harus membantu menunjang perekonomian keluarga dengan berjualan di salah satu perguruan tinggi di Bandung. Para mahasiswa di sana mengenal Bejo sebagai anak pintar dan murah senyum. Maka takheran jika banyak mahasiswa di universitas tersebut yang senang berbincang ringan dengan Bejo. Ada mahasiswa yang bertanya tentang prestasi Bejo di sekolah, ada juga yang bertanya lebih pribadi tentang kondisi perekonomian Bejo. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak membuat Bejo risih ataupun merasa malu. Bejo yang rendah hati pun tidak sungkan menjawab setiap pertanyaan yang ditanyakan kepadanya.

Bejo bercerita lepas tentang prestasinya yang gemilang di kelas. Ia sangat bersyukur. Kendati ekonomi keluarganya memprihatinkan, namun ia tetap berprestasi. Bejo selalu mendapatkan juara kelas dan menjadi murid kebanggaan guru-guru di sekolahnya. Namun, kadang ada kalanya Bejo menudukkan wajahnya ketika ia menceritakan tentang kondisi keluarganya terutama jika ia bercerita tentang bapaknya. Bejo sangat sayang pada bapaknya. Namun bapaknya telah meninggalkannya. Ia sendiri tidak tahu kemana bapaknya pergi. Satu hal yang ia tahu bahwa ia sekarang menjadi tulang punggung keluarga bagi ibu dan adiknya yang masih berumur 7 tahun.

Bejo menyadari bahwa ia memang tidak seberuntung teman-temannya. Jika teman-temannya memiliki waktu yang sangat banyak untuk belajar dan bermain, maka lain halnya dengan Bejo. Ia harus pandai-pandai mengatur waktunya untuk belajar dan berjualan. Pun begitu, Bejo tidak pernah mengeluh. Ia selalu bersemangat setiap harinya baik ketika ia harus menjadi seorang murid di sekolah, atau pun ketika ia menjadi penjual kripik di kampus.

Akan tetapi, kerap kali ada rasa gelisah yang mengusik ketenangannya. Bejo khawatir. Apakah ia bisa terus bersekolah dan bisa pintar seperti mahasiswa-mahasiswa yang menjadi pelanggan keripiknya. Bejo ingin sekali menjadi dokter. Cita-cita Bejo sangatlah sederhana, tapi sungguh mulia. Bejo ingin menyembuhkan sakit yang diderita ibunya. Ia berharap dan berdoa pada Tuhan agar ibunya bisa kembali sembuh seperti sedia kala. Namun, tetap saja perasaan khawatir itu terus menghantui Bejo. Bagaimana jika ternyata ia tidak bisa melanjutkan sekolah?

Kawan, itulah sepenggal kisah dari seorang bocah bernama Bejo. Tahukah kita, bahwa di bumi pertiwi ini mungkin ada ratusan bahkan ribuan anak Indonesia yang mengalami nasib serupa dengan Bejo. Lantas, apakah kita hanya terus berpangku tangan kemudian membuang muka? Bukankah mereka generasi bangsa? Bukankah mereka aset berharga? Bukankah mereka penerus estafet perubahan? Bagaimana jika ratusan atau bahkan ribuan Bejo di Indonesia ini tidak bisa meraih mimpi-mimpi mereka? Bagaimana jika mereka harus hidup di jalan sebagai pengamen atau mungkin sebagai peminta-minta. Ironis.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2010 persentase masyarakat Indonesia umur 15 tahun ke atas yang mengalami buta huruf mencapai 7.09 persen. Berdasarkan data tersebut, dapat kita ketahui bahwa secara kuantitas ada banyak calon penerus bangsa (usia produktif) yang tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam manisnya pendidikan. Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana nasib mereka? Setidaknya ada sekitar 155.965 anak Indonesia hidup di jalan dan sekitar 12 juta anak sekolah putus sekolah. Mereka menghabiskan masa kekanak menjadi pekerja di jejalanan kota-kota besar. Ada yang menjadi pengamen, penjual Koran, dan bahkan ada yang menjadi pengemis. Tingginya angka buta huruf yang dialami anak Indonesia tentunya inheren dengan kebodohan yang berdampak pada kemiskinan.

Potret suram nasib anak Indonesia tentunya membuat kita menghela napas dalam-dalam dan mengelus dada. Bagaimana mungkin bangsa yang sebesar ini luput memperhatinkan kondisi sang penerus bangsa? Sebagai Negara yang berpenduduk mayoritas muslim, sebetulnya ada solusi untuk membantu mereka yaitu dengan mengeluarkan zakat.

Secara harfiyah, zakat berkonotasi pemberdayaan (Azzakah = Annama). Dalam surat At-Taubah ayat 103 Allah swt. berfirman: “Ambilah zakat dari harta mereka guna membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doamu itu (menumbuhkan) ketentraman jiwa bagi mereka. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.” Keutamaan zakat tidak hanya untuk membersihkan harta namun juga bermanfaat sebagai penyubur jiwa dan pembawa berkah.

Sebetulnya umat Islam di Indonesia sudah mengetahui keutamaan zakat. Sayangnya, masih banyak umat Islam yang enggan menunaikan rukun Islam yang keempat ini karena pelbagai alasan. Ada orang yang berlimpah rejeki tapi enggan berzakat. Ah, andaikan semua muslim di Indonesia yang sudah wajib zakat mau mengeluarkan zakat, tentu Bejo sang penjual kripik tadi takusah khawatir memikirkan masa depan dan pendidikannya. Mungkin tidak ada lagi jutaan anak Indonesia yang putus sekolah dan hidup di jalanan.

Salah satu Lembaga Amil Zakat Nasional yang bertugas mendayagunakan zakat dari Muzaki (pemberi zakat) adalah PKPU. Zakat yang diterima dari Muzaki kemudian dikelola dan disalurkan kepada mustahik (penerima manfaat) berdasarkan prinsip pemberdayaan. Misalnya dalam bidang pendidikan, PKPU memberikan beasiswa pendidikan kepada pelajar yang kurang mampu. Hal ini penting dilakukan mengingat pendidikan merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi.

“Sebagai bangsa kita bukan hanya bercita-cita, tapi harus berjanji. Kita hanya diberi dua pilihan; melipat tangan atau turun tangan. Pendidikan adalah upaya kita memenuhi janji kemerdekaan.” (Anies Baswedan, Pendiri Yayasan Indonesia Mengajar).

Kita adalah bangsa yang sebesar. Maka jangan kerdilkan bangsa kita dengan ketidakpedulian. Di negeri yang permai ini ada berjuta anak yang ingin bersekolah dan ingin sekali mengenyam pendidikan. InsyaAllah dengan kita mengeluarkan zakat, Bejo dan anak Indonesia lainnya yang kurang mampu akan bisa meraih mimpi-mimpi mereka. Lihatlah, mereka tersenyum dengan senyuman terindah dan berlari menuju puncak kemandirian.

Menjadi Wakil Rakyat Teladan, Sejak Bangku Kuliah

Oleh: Mahfud Achyar, Universitas Padjadjaran Bandung.

wakil-rakyat1
sumber: google/.com

Mengutip pernyataan salah satu personil Train yang terkenal dengan hits Hey, soul sister bahwa masyarakat Indonesia memiliki selera humor yang tinggi. Entahlah, apa yang menjadi dasar sehingga ia mengatakan hal seperti itu. Namun, agaknya pernyataan tersebut memang benar adanya. Masyarakat Indonesia memang memiliki selera humor yang tinggi. Terlebih jika yang menjadi objek humor masyarakat Indonesia saat ini adalah orang-orang yang diberi kepercayaan menyuarakan aspirasi rakyat.

Maka taksalah, jika hari ini, hampir semua stasiun televisi menanyangkan kelucuan-kelucuan wakil rakyat yang tengah beratraksi di panggung politik gedung perwakilan rakyat. Ah, rasanya memang tidak bijak memukul rata bahwa semua wakil rakyat memang penuh guyonan. Namun, apa boleh buat. Toh, dalam ilmu Kajian Budaya, sikap beberapa individu dalam satu kelompok, diasumsikan mewakili sikap secara keseluruhan kelompok tersebut. Gara-gara setitik nila, rusaklah susu sebelanga. Pribahasa tersebut sempat menjadi populer di kalangan masyarakat Indonesia ketika disampaikan oleh orang nomor satu di Indonesia, yaitu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Gara-gara kelakuan oknum yang tidak beres membuat citra wakil rakyat menjadi kian buruk di mata masyarakat Indonesia. Mungkin masih segar di benak kita saat Ketua DPR-RI, melukai perasaan rakyat karena pernyataannya kepada masyarakat yang bermukim di sepanjang bibir pantai? Atau mungkin, kita masih mengerutkan kening ketika menyaksikan ratusan anggota dewan tidak mengikuti sidang paripurna? Bahkan hingga saat ini pun kita masih mengusap dada ketika mendengar dan menonton para wakil rakyat yang terjerat kasus korupsi?

Tidak hanya sampai di situ. Masih banyak sekali kelucuan-kelucuan anggota dewan yang membuat masyarakat tertawa. Bahkan karena saking tidak kuatnya menahan tawa, pada akhirnya banyak masyarakat yang menangis. Takheran, jika kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap keberadaan wakil rakyat semakin memudar. Pasalnya, sudah terlalu sering wakil rakyat tidak menjalankan amanahnya dengan baik. Seharusnya wakil rakyat adalah duta-duta rakyat yang merasakan betul apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh rakyat.

Alih-alih menjadi duta rakyat, untuk menjadi panutan pun masih jauh dari harapan. Maka tugas terbesar dari wakil rakyat saat ini adalah bukan lagi menggodok undang-undang yang pro kepada rakyat, tapi mengambil simpati rakyat dengan menjadi teladan yang baik. Patut kita akui bahwa dewasa ini keteladanan di Indonesia sangat minim. Jika pun ada, entitasnya sangatlah sedikit. Maka sudah sepatutnya wakil rakyat menyuguhi keteladanan, bukan lagi guyonan yang membuat masyarakat geleng-geleng kepala.

Sulit memang untuk menciptakan keteladanan dalam kondisi kompleks seperti yang dialami oleh para wakil rakyat. Solusi yang bisa ditawarkan adalah mempersiapkan keteladanan tersebut sejak bangku kuliah. Mengapa bangku kuliah? Karena jenjang pendidikan tinggi merupakan gerbang kaderisasi wakil rakyat di masa depan. Bermula di bangku kuliah-lah, karakter dan kepemimpinan itu terbentuk. Lagi-lagi kita harus dikatakan bahwa hanya pemudalah satu-satunya harapan untuk memperbaiki bangsa ini. Mereka, yang merupakan entitas masyarakat akademis ditempa dalam miniatur negara yang di sebut kampus.

Di kampus sendiri, mahasiswa bisa belajar bernegara. Hal sederhana dapat kita pantau dari student government yang berlaku hampir di setiap kampus. Dalam dunia kemahasiswaan, kita mengenal lembaga kemahasiswaaan yang bergerak di bidang eksekutif yang disebut BEM, dan lembaga kemahasiswaan yang bergarak di bidang legislatif yang dikenal dengan BPM. Bahkan, ada kampus-kampus yang memiliki lembaga seperti Badan Audit Kemahasiswaan (BPK seperti di Indonesia) dan lembaga peradilan seperti Mahkamah Mahasiswa (MM).

Bagi mahasiswa yang bergerak di bidang legislatif, maka berikanlah performa terbaik. Seperti tidak telat pada sidang pleno, menguasai perundang-undangan, dan menyerap aspirasi untuk disampaikan kepada pos yang tepat, dan menjadi teladan bagi mahasiswa lainnya.

Ya, saat ini bangsa Indonesia menunggu sosok pemimpin seperti apa yang dikatakan pemerhati pendidikan, Anies Baswedan,

Indonesia butuh pemuda yang world class competent, but knowing grass root

. Mudah-mudahan suatu saat keteladanan wakil rakyat itu bukan lagi isapan jempol belaka, namun suatu keniscayaan. Kita tunggu saja.

Farhan: Public Speaking Itu Mudah

Menjadi seorang public speaking itu harus percaya diri. Begitulah pernyataan Farhan atau yang lebih akrab disapa mas Farhan. Karena menjadi public speaking tentunya akan berhadapan dengan orang banyak dan harus memberikan performa yang baik.

Siapa yang tidak kenal dengan sosok yang satu ini. Wajahnya tak asing lagi di layar kaca. Kerap mengisi berbagai program acara, menjadi model iklan, dan sebagainya. Namun, dari sekian banyaknya kegiatan yang digelutinya, Farhan lebih menyenangi sebagai presenter tv. Pria kelahiran 25 Februari 1970 ini merupakan alumnus Fakultas Ekonomi, Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 1995.

(13/11/09) kemarin, ketika Farhan mengisi talkshow tentang public speaking di kampus Universitas Padjadjaran, kru interval21 berhasil mewawancarai beliau. Berikut petikan wawancara kru interval21 dengan Farhan.

Farhan

Mas Farhan, bisa diceritakan bagaimana kisah karier mas Farhan hingga bisa sukses seperti sekarang?

Saya awal berkarir ketika melamar sebagai penyiar di radio KLCBS pada tahun 1993. Eh, diterima sebagai script writer. Hingga tahun 1997, saya tidak siaran radio sama sekali. Nah, pada tahun 1997, saya baru siaran radio Mustang FM, Jakarta. Lalu, pada tahun 2004, saya pindah ke Trijaya. Tahun 2008 hingga sekarang, saya menjadi penyiar radio Delta FM di enam kota yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, Makasar, Medan, dan Manado. Kalau karir di televisi, saya memulainya pada tahun 1994 sebagai penulis dalam acara ulang tahun Anteve. Setelah itu, saya menulis lagi untuk acara yang bernama Spesial Paket Telor bersama-sama teman dari Unpad dan satu orang dari ITB. Setelah jadi pembawa acara di RCTI, SCTV, dsb dan terus berkelana sampai sekarang.

Mengapa lebih tertarik dengan dunia public speaking?

Karena public speaking lebih mudah, lebih mudah dilaksanakan, dan lebih mudah dijual. Hehehe

Oya, selain sebagai public speaking, mas Farhan juga dinobatkan sebagai duta anti narkoba, bagaimana pandangan mas Farhan terhadap generasi muda dan narkoba?

Saya pikir, generasi muda sekarang lebih pintar karena bagaimanapun juga, people skill adalah suatu hal yang penting untuk kita. Belajar mengatakan tidak kepada narkoba. Di sini masalahnya, tahu atau tidaknya narkoba, tapi masalah mau atau tidaknya mengatakan tidak. Itu yang lebih penting.

Terakhir, apa harapan mas Farhan untuk mahasiswa terutama mahasiswa Unpad?

Mahasiswa sekarang harus lebih daripada generasi saya. Mahasiswa Unpad harus menjadi lulusan yang punya wawasan internasional, prestasi minimal nasional, dan jangan terpentok dengan berpikir seperti pia batok.

16345_1276018218934_1184328032_1833024_6113548_n
Farhan dan Pengurus BEM Unpad