Catatan Perjalanan: Akhir Tahun 2013 di Gunung Puntang

Pada akhir tahun 2013, tepatnya pada tanggal 28 hingga 29 Desember 2013, aku bersama sahabat-sahabatku bersepakat untuk mengikuti trip pendakian ke gunung Puntang yang berlokasi di Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Berbeda dengan pendakian-pendakian sebelumnya yang biasanya hanya dilakoni oleh kurang dari 10 orang, namun pada pendakian ini ada sekitar 22 orang yang bertekad untuk sampai ke puncak gunung Puntang, yaitu puncak Mega yang memiliki ketinggian 2.223 Mdpl (meter dari permukaan laut).

Salah satu lokasi perkemahan di gunung Puntang. (Dokumentasi pribadi)
Salah satu lokasi perkemahan di gunung Puntang. (Dokumentasi pribadi)

Oya, pada pendakian ini kami tergabung dalam komunitas Ngeteng Mania yaitu komunitas para pencinta traveling yang diinisiasi oleh kang Fadli bersama teman-teman dari FKM UI. Lantas bagaimana ceritanya aku dan teman-temanku bisa gabung komunitas ini? Jawabannya takdirlah yang mempertemukan kita. Jadi ceritanya, aku sudah pernah kenal dengan teman-teman Ngeteng Mania saat kegiatan bakti sosial yang ada di adakan oleh kantorku di kaki gunung Salak, Bogor pada tahun 2013. Saat itu aku bertugas menjadi reporter berita. Jadi aku sempat mewawancarai beberapa di antara anggota Ngeteng Mania.

Sementara itu, sahabatku semasa kuliah yang bernama Nurida Sari Dewi, wanita asal Semarang yang pernah tinggal di Balikpapan, dan saat ini kuliah pascasarjana UI, nyatanya juga mengenal para anggota komunitas Ngeteng Mania. Bahkan beberapa dari anggota Ngeteng Mania juga menjadi teman kuliah Nurida di UI. Singkat cerita, aku diajak Nurida dan Nurida diajak Ngeteng Mania. Ya, kurang lebih seperti itu jalan ceritanya. Well, dunia ini memang sangat sempit kawan. Maka tertawalah. Haha.

Ada dua tim yang berangkat ke gunung Puntang. Yaitu tim dari Jakarta dan tim dari Bandung. Tim Jakarta terdiri dari Nurida dan teman-teman Ngeteng Mania. Selanjutnya tim dari Bandung terdiri dari aku, Cahyo, Ellak, dan Abah. Nurida bertugas sebagai supir yang hebat. Katanya sih begitu. Aku sih tidak terlalu percaya. Hihi. Sementara yang bertugas menjadi supir dari tim Bandung adalah Cahyo. Lalu apa tugasku, Ella, dan Abah? Kita makan-makan di mobil, berbincang-bincang ringan, tertawa, saling meledek, dan tidur. Sip. Tugas yang sangat sempurna. Hehe.

Anak Kaki Langit!
Anak Kaki Langit!

Perjalanan ke Banjaran dari Bandung membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam. Waktu yang cukup lama bukan? Padahal sebetulnya jarak antara Bandung dan Banjar tidak begitu jauh. Namun apalah daya, jalan raya Banjaran pada hari itu sangatlah macet. Seingatku kita berangkat pukul 09.00 pagi dari Jatinangor dan baru tiba di lokasi sekitar pukul 11.30 WIB. Mobilnya Abah melaju dengan pelan dan untungnya tidak berlendir seperti Gery. Miau. Saat asyik-asyiknya menikmati pemandangan menuju Banjaran, Nurida dan Andin terus menelpon kami, kemudian sms, kemudian mengomeli kami. Kasihan sekali kami (karakter Nurida pada tulisan ini dibuat agak sedikit antagonis). Hehe.

“Kalian dimana sih? Kita udah nyampe di Puntang dari tadi loh. Kalian lambat dan berlendir.”

“Iya sebentar lagi kami sampe. Tunggu ya!”

“Udah dimana?”

“Dikit lagi nyampe!”

“Lama banget.”

Tuh kan, banyak sekali pertanyaan bertubi-tubi merambat melalui gelombang elektromagnetik ponsel yang kami genggam secara bergantian. Mulai dari aku, Ellak, dan Cahyo. Haha. Eh tapi sebenarnya Nurida pada dasarnya anak baik dan berpendidikan kok. Cerita yang Anda baca saat ini agak sedikit didramatisasi. Hoi!

For your information, gunung Puntang adalah salah satu gunung bersejarah di kawasan Bandung Selatan. Di kawasan gunung Puntang terdapat petilasan loji Belanda, yaitu goa Belanda yang pada zaman kolonial Belanda merupakan basis stasiun pemancar radio yang menyebarkan berita ke seluruh dunia. Hebat bukan? Namun sekarang keberadaan gunung Puntang difungsikan sebagai tempat rekreasi seperti untuk camping, hiking ke curug (air terjun), dan berbagai kegiatan alam lainnya. Sebelum berangkat ke gunung Puntang, aku sempat berselancar di google untuk mencari informasi tentang gunung Puntang. OMG! Keyword yang tersedia pada mesin pencari yaitu: gunung Puntang angker, misteri gunung Puntang, suasana mencekam di gunung Puntang, dan sebagainya. Ya ampun. Reputasi gunung Puntang cukup mengkhawatirkan di internet. Namun aku tidak terlalu ambil pusing. Markemon!

Curug Siliwangi

Sekitar pukul 12.00 WIB kami trekking ke curug Siliwangi yang konon kata pedagang-pedagang di sekitar kawasan wisata gunung Puntang merupakan curug yang indah dan tinggi. Salah seorang ibu penjaga warung bertutur kepadaku bahwa selama bertahun-tahun ia berdagang di tempat itu, ia belum pernah sama sekali melihat curug Siliwangi.

“Ih curug Siliwangi mah meuni jauh pisan. Ibu oge teu pernah ke ditu. Tapi anak ibu mah sering. Dia mah suka penelitian di hutan,” ujar ibu penjaga warung dalam idealek Sunda.

Oke, trekking ke curug Siliwangi pun dimulai. Bismillah. Kami pun berdoa dalam hati.

Pemandangan menuju curug Siliwangi sangatlah indah. Hamparan rumput hijau seakan menjadi green carpet yang mengantarkan kita bertualang pada siang itu. Belum lagi rindangnya pohon-pohon pinus yang berjajar dan rimbun. Mereka layaknya seperti pagar bagus yang sudah siap menunggu kehadiran kami sebagai tamu di kawasan wisata gunung Puntang. Ingat, kami hanyalah tamu. Sebagai tamu kita haruslah tahu diri. Jangan pernah merusak dan bersikap yang santunlah selama di “rumah” mereka.

Cahaya mentari yang hampir tepat di atas kepala pun menyelip di antara dahan-dahan pinus yang cukup rapat. Ah nampaknya cahaya mentari takingin ketinggalan menjadi lentera yang menuntun perjalanan kami. Belum lagi suara gemircik sungai yang seolah-olah mendendangkan musik klasik alam yang betul-betul menentramkan jiwa. Tidak kalah dengan arrangement musik klasik yang biasa kudengarkan seperti karya komposer seperti Kitaro, Kenny G, Bethoven, dan sebagainya. Alam membuat siapapun menjadi puitis. Beruntunglah jika kita memiliki ikatan dengan alam. Maka yang tercipta adalah sinergi yang harmoni. Saling memiliki dan saling terhubung.

Beberapa menit berjalan kondisi masih aman-aman saja. Namun kemudian kita dihadapkan pada sebuah pilihan sulit. Pilihan yang akan menentukan mana jalan yang tepat untuk diambil. Apakah ke kiri dengan menyusuri sungai yang memiliki arus yang cukup kencang. Atau mengambil jalur kanan dengan menapaki tebing yang terjal, kontur tanah yang tidak stabil dan licin, serta semak belukar yang tampak belum pernah dilewati oleh orang-orang.

Saat itu kami pun berdiskusi. Lebih tepatnya saling berasumsi untuk menentukan jalan yang paling benar.

“Kayanya lewat sini deh.”

“Bukan, kayanya lewat situ deh.”

Penggalan-penggalan frasa bermotif opini pun mulai mencuat. Beberapa di antara kami ada yang mulai berinisiatif untuk memilih membersihkan semak belukar di jalur dekat sungai. Barangkali itu jalan yang benar. Tetiba, aku pun menimpali asumsi yang tidak ada dasarnya.

“Eh kayanya jalur kiri yang benar. Soalnya ada tanda panah. Pasti itu tanda menuju curug. Iya kan?” aku bertanya retoris.

Celetukanku tidak digubris sama sekali. Kang Fadli masih asyik membersihkan jalur di bagian kiri. Sementara Cahyo mengeluarkan tali webbing yang akan digunakan untuk menyebrang sungai yang berarus deras. Oh, takada kata mufakat. Namun sepertinya mereka mengikuti saranku. Salah seorang di antara kami, seingatku kang Fajar sudah berhasil menyebrangi sungai. Cahyo pun melempar tali webbing ke seberang sungai dan ditangkap oleh kang Fajar. Aku pun berinsiatif memegang tali webbing agar orang-orang dapat memegang erat tali tersebut ketika menyebrang sungai.

Untuk menyebrang sungai tidak boleh asal-asalan. Harus hati-hati. Sebab kita menginjak bebatuan yang licin. Belum lagi arus sungai yang cukup deras. Jika kita terpeleset, maka terimalah takdir untuk basah kuyup. Satu persatu kami pun menyebrangi sungai. Kemudian tibalah giliran Nurida. Apa yang terjadi? Ia pun sangat hati-hati menyebrangi sungai. Sepasang tangannya begitu kuat memegang tali webbing. Ia berjalan sangat pelan-pelan. Dan seketika itu dia berteriak.

“Loh sendalku hanyut,” teriak Nurida dengan intonasi yang tidak terlalu tinggi. Cuma naik satu oktaf.

Kami pun cukup terkejut dan hanya bisa memandangi sendal jepit berwarna ungu yang terbawa arus sungai. Bye! Sendal itu pun hilang takberbekas. Namun sendal sepertinya tidak menjadi prioritas Nurida. Yang terpenting saat itu adalah ia dapat berhasil menyebrangi sungai dengan baik dan selamat. Yap, semuanya berhasil. Kami lolos menjadi peserta Benteng Takeshi. Hoho. Doakan kami pada rintangan selanjutnya ya!

Tantangan selanjutnya ada di depan mata! Kami harus menyusuri hutan yang rimbun, tebing yang terjal, turunan yang curam, dan menyusuri jalan setapak yang licin. Kami berjalan bersama-sama. Layaknya seperti bocah-bocah petualang yang begitu bergembira karena hiking bersama.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama, akhirnya kami mendengar suara air terjun. Semakin kami berjalan, suara air terjun semakin jelas terdengar. Jalan beberapa langkah lagi, akhirnya kami dapat melihat curug Siliwangi yang cukup tinggi. Mungkin Curug Siliwangi adalah salah satu curug tertinggi yang pernah aku lihat. Kami pun kemudian bergegas menuju curug, berfoto-foto, makan siang, sholat jamak qashar Dzuhur dan Ashar, kemudian kembali menuju perkemahan.

Well, perjalanan panjang menuju curug Siliwagi terbayar lunas. Lunas tanpa kredit. Curug yang memesona, anggun, dan agak sedikit misterius.

Curug Siliwangi
Curug Siliwangi

Summit Attack ke Puncak Mega

29 Desember 2013, pukul 02.00 dini hari. Suhu pada saat itu cukup dingin barangkali sekitar 16 derajat celcius. Bagiku yang memiliki tubuh kurus yang hanya dilapisi beberapa senti bantalan lemak, angin gunung sangat menusuk tulang. Tapi untung saya punya jaket waterproof berwarna hijau muda dan sedikit aksen hitam yang baru saya beli bersama Ellak. Model, warna, dan merek jaket kita sama persis. Hanya beda ukuran. Jaketku ukurannya L, sementara jaket Ellak ukurannya M. Kami seperti sepasang anak gunung yang kembar. Hehe. Ulah kekompakkan kami yang suka pamer jaket, Cahyo pun jadi naik pitam. Dia meledek jaket kami yang mahal dan berkualitas. Kemudian dia tertawa. Kami pun hanya bisa garuk-garuk kepala. Aneh.

Kami pun packing. Memasukkan beberapa barang penting ke day pack seperti air mineral, madu, flysheet, kamera, ponsel, dan lain sebagainya. Tidak lupa kami memasang head lamp dan mengganti kostum lapangan yang nyaman untuk pendakian. Whatezig! Kami pun siap untuk summit attack ke puncak Mega.

Oya, kalian harus tahu. Pendakian tidak pernah menyisakan duka. Justru yang timbul hanyalah cinta, cinta, dan cinta. Aku akan bercerita bagaimana kisah terjalin begitu apa adanya antara Abah dan seorang wanita berkaca mata. Penasaran? Aku pun begitu.

Sebelum memulai pendakian, terlebih dahulu kami mendaftar ke sekretariat PGPI (Persaudaraan Gunung Puntang Indonesia). Setelah selesai mendaftar, kami pun berkumpul untuk berdoa bersama dan kemudian mulai mendaki. Kondisi saat itu tidak terlalu gelap. Sebab tepat di atas kepala kami bulan purnama sempurna memancarkan cahaya yang terang. Aku pun mendongakkan kepala ke atas melihat nanar bulan purnama. Ah, aku jadi teringat salah satu kutipan romantis dalam novel Burlian yang ditulis Tere Liye.

“Kau tahu, menurut kepercayaan orang Jepang, jika ada dua orang memandang bulan purnama di saat bersamaan, maka tidak peduli seberapa jauh kau berpisah dengannya, kau seolah saling melihat wajah satu sama lain.” – Burlian

Cahaya rembulan tidak hanya menjadi penghubung dengan orang-orang yang kita cintai. Namun juga menjadi penerang dari semesta yang menemani perjalanan kami menuju puncak gunung. Kami merasa sangat terbantu berkat cahaya berpendar yang dipancarkan bulan purnama saat itu.

Beberapa menit kami berjalan, salah seorang di antara kami menghempaskan badannya pada reremputan yang basah karena embun. Ia berkata pada kami bahwa ia kelelahan dan mengurungkan niat untuk melanjutkan perjalanan. Barangkali ada hal yang membuatnya patah arang. Tapi bagaimana pun kami tidak bisa memaksa. Kami hanya bisa memaklumi. Kami pun kemudian melanjutkan perjalanan. Namun kemudian lagi-lagi kami menemukan dua orang teman kami yang juga memutuskan untuk berhenti melangkah. Salah seorang di antara mereka sakit. Abah dan Cahyo pun mengantarkan mereka turun kembali.

Baiklah, mari kita melanjutkan perjalanan. Kami harus segera bergegas karena tidak ingin kehilangan momen langka untuk melihat semburat cahaya berwarna jingga di ufuk timur. Ritme langkah pun kami percepat. Apalagi jam di tanganku sudah menunjukkan pukul 04.00 WIB. Artinya sebentar lagi waktu sholat Subuh tiba. Selang beberapa menit, terdengar sayup-sayup suara adzan Subuh berkumandang. Suara adzan yang saling bersaut-sautan membangunkan anak manusia yang terlelap tidur untuk memenuhi seruan Tuhan. Aku jadi malu sendiri, di usiaku yang sudah tidak muda lagi berapa seringnya adzan Subuh yang tidak aku dengar. Aku terlelap tidur kemudian sholat Subuh pun kesiangan. Malu.

Kami pun sholat Subuh berjamaah. Sholat di alam terbuka, dingin, dan di gunung menjadi hal istimewa. Ini adalah satu dari sekian banyak momen epic yang paling aku sukai ketika mendaki gunung. Momen yang sangat jarang ditemui. Saat sholat di atas gunung, kita merasa menjadi manusia yang tidak ada apa-apanya, sementara kuasa Allah begitu besar. Lantas, apa yang harus kita sombongkan?

Perlahan tapi pasti, fajar terlihat menyingsing. Semburat berwarna jingga mulai terlihat walaupun masih ditutupi awan hitam yang tebal. Sementara itu, di bawah sana, suara ayam berkokok terdengar seperti suara terompet penanda hari yang baru telah datang. Aku pun jadi bersemangat. Sangat bersemangat saat itu. Ingin rasanya tiba di puncak Mega sesegera mungkin. Aku rasa, semangat yang membuncah di dalam hati juga dirasakan oleh teman-temanku. Tanpa banyak bicara, kami fokus mendaki jalanan yang terjal, sesekali istirahat untuk meneguk air mineral, dan berteriak untuk saling menyemangati.

Gugusan gunung-gunung yang dilihat dari atas Puncak Mega, gunung Puntang
Gugusan gunung-gunung yang dilihat dari atas Puncak Mega, gunung Puntang

Tiga jam berlalu. Tinggal 1,5 jam lagi kami akan sampai di puncak. Tapi sayang sekali keinginan kami untuk melihat sunrise secara langsung dari atas puncak Mega tidak akan terwujud. Sang mentari sudah terlihat dan mulai menyinari cakrawala pagi. Burung-burung pun bernyanyi dan terbang kian ke mari. Aku, Abah, Ellak, dan Fikroh berada di barisan belakang. Kami tertinggal cukup jauh dibandingkan yang lainnya. Bahkan ada yang sudah sampai puncak. Ingin sekali berlari agar cepat tiba. Tapi tidak mungkin. Kami diminta menjadi tim akhir untuk memastikan semua orang bisa mencapai puncak dengan selamat.

Nah, sekarang masuklah pada segmen cinta seperti yang aku tulis tadi. Cinta itu menyemangati, cinta itu menguatkan, dan cinta itu adalah kesetiaan. Bukan begitu Abah? Biarkan Abah bercerita lebih banyak untuk hal ini. Aku hanya bisa memantik saja. Hehe.

1,2,3 yap!

Akhirnya kita berhasil tiba di puncak Mega pada ketinggian 2.223 Mdpl. Perasaan pun campur aduk: senang, terharu, dan puas! Rasa lelah seketika tidak berarti apa-apa. Kami begitu senang bisa menikmati pagi pada akhir tahun 2013 di puncak gunung. Sepanjang mata memandang yang tampak hanyalah gugusan gunung-gunung yang sangat indah, kabut tipis, dan sisa-sisa semburat berwarna jingga yang memenuhi cakrawala. Saat itu dada kami dipenuhi rasa syukur tiada terkira. Sulit sekali diungkapkan. Sebab Allah telah menampakkan kuasa-Nya yang begitu indah dan menakjubkan.

Puncak Mega
Puncak Mega
Inilah kami, NGETENG MANIA!
Inilah kami, NGETENG MANIA!

 

Lagi, ini adalah kado terbaik dalam hidup kami. Terima kasih gunung Puntang. Akhir tahun yang sangat manis. [Mahfud Achyar]